Rencana Revisi Larangan Impor di Bawah Rp1,5 Juta Ditolak Mentah-Mentah, APLE Ancam Gugat Pemerintah ke PTUN
WELFARE.id-Rencana pemerintah mengesahkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 terkait larangan impor di bawah USD100 atau sekitar Rp1,52 juta mendapat pertentangan. Tak hanya dari pedagang atau importir, penolakan juga datang dari Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE).
Mereka bahkan tak segan mengancam akan menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bila tetap memberlakukan larangan impor tersebut. Saat ini, rencana larangan itu masih dalam proses harmonisasi aturan oleh pemerintah.
Ketua APLE Sonny Harsono mengatakan, alih-alih melindungi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), larangan itu justru akan memicu efek domino dan membahayakan UMKM. Di samping tak memiliki yurisprudensi di dunia internasional, menurutnya, kebijakan tersebut rentan lebih membuka ruang importasi ilegal yang negara pengirim maupun kualitas produk tak tervalidasi.
"Dan yang paling penting adalah UMKM-nya sendiri malah dirugikan. Kita sudah bersurat, menyampaikan keberatan kita. Kita akan eskalasi, tapi kalau semua cara mentok, kita akan ambil langkah hukum. Kita akan gugat kebijakan ini ke PTUN," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Senin (28/8/2023).
Jika gugatan itu dilakukan, dirinya sadar langkah tersebut bisa jadi mencederai nama Indonesia juga. "Karena pasti akan digugat juga oleh WTO. Jadi pemerintah Indonesia di dalam negeri digugat, di luar negeri juga akan digugat oleh pihak lain," tambah Sonny.
Menurutnya, larangan itu akan berbalik membuat UMKM di dalam negeri lumpuh karena banyak barang produksi atau kebutuhan yang diperlukan tak dapat diperoleh karena belum tersedia di Indonesia. Kekhawatiran lain, ujarnya, UMKM Indonesia berpotensi menghadapi perlakuan serupa dari negara lain.
"Jadi kalau barang ini katakanlah dari Tiongkok atau Taiwan, atau Amerika di-banned, bagaimana kalau diambil tindakan serupa terhadap barang kita yang diekspor. Sementara saat ini ada 50 juta UMKM ditargetkan untuk on board. Dan kita sekarang ada per bulan 500 ton lebih barang UMKM yang dijual secara cross border, ekspor dengan transaksi yang 1 tahun mencapai Rp2 triliun. Harusnya (rencana menerapkan kebijakan melarang menjual barang impor murah) dibatalkan segera," tuntutnya.
Ia juga menambahkan, efek domino dari kebijakan tersebut juga akan membuat perekonomian Indonesia yang saat ini tengah bangkit kembali terpuruk. Sektor logistik menurutnya akan sangat terdampak sehingga membuat aktivitas lebih dibebankan ke kegiatan ekspor.
Imbasnya, pelaku usaha logistik akan membuat penyesuaian untuk membuat perusahaannya tetap sehat dengan cara pengurangan tenaga kerja. Ancaman PHK massal itu, lanjut dia, juga akan terjadi setidaknya 2 bulan pasca-larangan diberlakukan.
"Dari sisi logistik tentunya akan mendegradasi kemampuan untuk lebih kompetitif. Karena kegiatan importasi E-commerce ini termasuk yang paling kompleks. Ini dihilangkan maka akan ada PHK besar-besaran, pendapatan logistik turun. Jangan lupa 2023 kuartal pertama dan kedua, Indonesia tumbuh 5,9 persen ekonominya. Dan penyumbang terbesarnya, sekitar 19 persen itu dari sektor logistik. Jadi apabila diterapkan dan berefek langsung ke logistik maka akan mendegradasi ekonomi nasional," yakinnya.
Maka itu, ia berharap pemerintah dalam mengatasi persoalan predator pricing dapat membuat kebijakan yang tak mendegradasi UMKM dan ekenomi Indonesia. "Apabila (penyebab predator pricing) itu proses importasi ilegal, mari sama-sama kita berantas. Sama-sama kita cek di platform, barang-barang yang dijual tadi (importasi ilegal) segera dibatasi. Jadi bukan cross border-nya yang dibatasi tapi barang impor (ilegal) yang ada di platform yang dibatasi. Pengawasan barang impor di platform diperketat," tegasnya lagi. (tim redaksi)
#pengusahalogistik
#rencanarevisipermendagno50tahun2020
#importasi
#PTUN
#rencanaasosiasipengusahalogistikajukangugatan
#soalwacanalaranganimpordibawahhargatertentu
#logistik
#predatorpricing
#pengawasanplatformecommerce
Tidak ada komentar