Breaking News

Krisis Energi di Eropa Kini Realita, Saatnya RI Ambil Peluang Ini

Ilustrasi/ net


WELFARE.id-Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) akhir tahun lalu memprediksi, Eropa akan dilanda krisis energi tahun ini. Kepala Badan Energi Internasional Fatih Birol dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen Desember 2022 mengatakan, Eropa akan mengalami kekurangan gas alam sebesar 27 miliar meter kubik. 

Itu setara dengan hampir 7% dari konsumsi tahunan Eropa. Ada tiga faktor yang menyebabkan Eropa mengalami kekurangan gas sepanjang 2023 ini. 

"Pertama, Rusia diprediksi akan menghentikan pengiriman gas ke Uni Eropa. Padahal biasanya negara tersebut mengirimkan sekitar sekitar 60 miliar meter kubik gas. Kedua, konsumsi gas akan lebih banyak memasuki musim dingin. IEA juga menemukan, bahwa ada kesenjangan pasokan sebesar 57 miliar meter kubik tahun ini," ucapnya, mengutip cnn, Selasa (1/8/2023). 

Eropa sendiri berencana melakukan pengurangan distribusi gas sebesar 15% antara Agustus 2022 dan Maret 2023. Tak heran, jika negara-negara di Eropa saat ini terus meningkatkan efisiensi energi, mendorong penerapan energi terbarukan, meningkatkan penggunaan pompa panas, dan mendorong perubahan perilaku lainnya.

Kebijakan yang direncanakan tersebut diprediksi akan menelan biaya sekitar 100 miliar euro atau USD106 miliar setara Rp1.661 triliun. Menanggapi krisis energi dan pangan di Eropa, Presiden Turkiye Tayyip Erdogan mengatakan, bahwa Eropa sedang "menuai apa yang ditabur". 

Kekhawatiran akan krisis energi di Eropa meningkat selama musim dingin setelah Rusia mengumumkan akan menutup pipa gas utamanya ke Jerman. Rusia telah menghentikan aliran gas melalui pipa Nord Stream 1 dan telah memotong atau menutup pasokan di tiga pipa gas terbesar ke barat sejak invasi ke Ukraina dimulai pada 24 Februari 2022. 

Pasokan minyak juga telah dialihkan Rusia ke timur. "Eropa sebenarnya sedang menuai apa yang ditaburnya," kata Erdogan kepada wartawan di Ankara, tahun lalu.

Menurutnya, sanksi dari Barat atas invasi Rusia ke Ukraina mendorong Putin untuk membalas menggunakan pasokan energi. "Putin menggunakan semua sarana dan senjatanya, dan yang paling penting adalah gas alam. Sayangnya, kami tidak menginginkan hal ini terjadi, tetapi situasi seperti itu sedang berkembang di Eropa," kata Erdogan. 


5 Potensi Krisis yang Siap Menerjang Eropa


Sementara itu, Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) mencatat, ada lima potensi krisis yang dikhawatirkan para pelaku ekonomi dunia berpotensi mencuat pada tahun ini. Melansir Global Risks Report 2023 yang dikeluarkan WEF, Selasa (1/8/2023), risiko krisis yang dikhawatirkan terjadi itu diantaranya krisis pasokan energi, krisis biaya hidup, tingginya tingkat inflasi, krisis pasokan makanan, hingga serangan siber pada infrastruktur penting. 

Krisis yang berpotensi menghantam dalam skala global itu didapati dari hasil Global Risks Perception Survey (GRPS) 2022-2023 yang dilakukan WEF terhadap 1.200 pakar di berbagai bidang, seperti akademikus, pelaku bisnis, pemerintahan, komunitas internasional, serta masyarakat sipil. "Fokus kolektif dunia saat ini terarah ke mode bertahan dari ancaman krisis antara lain biaya hidup, polarisasi sosial dan politik, pasokan makanan dan energi, pertumbuhan yang lambat, dan konfrontasi geopolitik," kata Direktur Pelaksana WEF Saadia Zahidi dalam kata sambutannya pada laporan itu.

Selain risiko krisis teratas yang menghantui para pelaku di sektor ekonomi itu, WEF mencatat terdapat sejumlah kekhawatiran yang juga memiliki implikasi besar secara global, yaitu kegagalan memenuhi target netzero, kebijakan ekonomi yang dijadikan senjata, melemahnya hak asasi manusia, krisis utang, dan kegagalan rantai pasokan non-pangan.

Memburuknya risiko-risiko krisis ini dipicu dampak masalah kesehatan dan ekonomi yang berkepanjangan akibat pandemi global, perang di Eropa dan sanksinya yang berdampak pada ekonomi secara global, serta perlombaan teknologi senjata yang meningkat yang didukung oleh persaingan industri dan peningkatan intervensi negara. WEF mencatat berbagai risiko ini mengantarkan dunia pada era pertumbuhan ekonomi yang rendah, aliran investasi rendah, pelemahan kerjasama perdagangan, hingga potensi penurunan dalam pembangunan manusia.

WEF memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global akan melambat ke level 2,7% pada 2023, dengan sekitar sepertiga ekonomi dunia menghadapi resesi teknis. Penurunan tingkat pertumbuhan ini akan melanda negara- negara maju, dengan pertumbuhan yang diproyeksikan turun menjadi 1,1% pada 2023.

"Ini adalah seruan untuk bertindak, untuk bersama-sama bersiap menghadapi krisis berikutnya yang mungkin dihadapi dunia. Sehingga dengan demikian, menciptakan jalan menuju dunia yang lebih stabil dan tangguh," imbaunya.


Penyebab Ekonomi Eropa Ambruk


Lima negara di Eropa telah menyatakan krisis energi, terutama gas yang mengancam persediaan listrik disana. Kelima negara tersebut adalah Jerman, Swedia, Belanda, Austria, dan Denmark. Sumber energi yang terganggu pasokannya ini termasuk minyak bumi, gas, dan batu bara. Bahkan, Jerman dan Austria sudah mengumumkan penyalaan darurat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sejak awal tahun ini. 

Padahal, Austria adalah negara kedua di Eropa setelah Swedia yang sudah menyetop penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Italia diperkirakan akan melakukan langkah serupa dalam waktu dekat.  

Belanda juga sudah mencabut pembatasan operasional pembangkit tenaga batu baranya. Menteri Iklim dan Energi Belanda Rob Jetten mengaku sudah membatasi produksi pembangkit menjadi hanya sepertiga dari total kapasitas, demi menekan emisi karbon dioksida. Melansir DW, Selasa (1/8/2023), salah satu penyebab krisis energi di masa sekarang adalah pertumbuhan ekonomi masif yang disebabkan oleh relaksasi pembatasan COVID-19. 


Peluang Bagi Indonesia


Fenomena krisis energi di Benua Biru itu, di antaranya, menyatakan suplai energi bisa berkurang sebab kapasitas fasilitas penyimpanan gas alam pun tidak sepenuh sebelumnya. Bahkan kapasitas gas di Uni Eropa hanya berada di tingkat 71 %. Beberapa pengamat juga menilai krisis ekonomi disebabkan oleh pengurangan kiriman gas dari Rusia ke Uni Eropa karena alasan politis. 

Tercatat ada pengurangan kapasitas pada fasilitas penyimpanan gas terbesar di Eropa, yakni Rehden di Jerman. Dalam setahun ini, kapasitas yang semula terisi 87 %, hanya tersisa 5 %. 

Hal inilah yang membuat berbagai negara mulai beralih ke sumber energi lain yakni batu bara. Buntut dari hukuman Rusia ini, kini ada lima negara yang akan mengaktifkan atau memperpanjang operasional pembangkit listrik tenaga batu bara mereka. 

Kelima negara ini adalah Austria, Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris. Dalam catatan Katadata, sebanyak 40 % kebutuhan gas alam Uni Eropa diperoleh dari Rusia. Sisanya berasal dari Norwegia (22 %), Aljazair (18 %), dan Azerbaijan (9 %). Minyak bumi jadi impor utama Uni Eropa dari Rusia dengan nilai 24,7 miliar Euro. Kemudian impor gas alam senilai 15 miliar euro dan batu bara senilai 2,1 miliar Euro. 

Dengan situasi kekurangan pasokan energi yang terjadi di berbagai negara, Presiden Joko Widodo justru optimistis, Indonesia dapat mengambil peluang. Ia menilai Indonesia dapat berperan dengan berbagai sumber daya yang dimiliki, salah satunya batu bara. 

Begitu banyaknya stok batu bara Indonesia, hingga Jokowi bercerita ia sempat ditelepon lima pemimpin negara yang meminta stok batu bara. "Waktu bulan Januari kita stok batu bara, ada lima presiden dan perdana menteri yang telpon ke saya "Presiden Jokowi mohon kita dikirim batu baranya ini segera, secepatnya. Kalau tidak mati listrik kita"," ucapnya, menirukan isi pembicaraan antarkepala negara itu. (tim redaksi)


#krisisenergi

#krisispangan

#krisisgasalam

#pasokangasalamdarirusiamenipis

#eropaterancamkrisisenergi

#batubara

#eksporsektorpertambangan

#peluangindonesia

Tidak ada komentar