Hilirisasi Tambang Berlanjut, Jokowi Target Stop Ekspor Pasir Kuarsa di 2027
WELFARE.id-Pemerintah terus berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan hilirisasi industri sektor pertambangan dengan menghentikan ekspor bahan mentah atau raw material produk-produk pertambangan secara bertahap. Setelah nikel, Presiden Joko Widodo mengatakan akan segera menghentikan ekspor bahan mentah untuk bauksit.
Jokowi juga berencana melarang ekspor "harta karun" RI lain yang memiliki nilai tambah yang besar. Di antaranya yang tengah santer diwacanakan adalah penyetopan ekspor pasir kuarsa atau silika.
Sebelumnya, Presiden Jokowi secara tegas akan melarang kegiatan ekspor pasir kuarsa ini. Menurutnya, dalam perhitungan pemerintahannya, pasir kuarsa rupanya memiliki sebanyak 60 ribu turunan yang memiliki nilai tambah.
"2027 ekosistem EV harus tuntas. Semua hilirisasi termasuk pasir silika juga akan kita larang ekspor. Kalau pasir silika ini saya sudah hitung turunannya ada 60 ribu, ada nilai tambah yang besar," ungkap Jokowi di Istana Negara, belum lama ini, dikutip Rabu (9/8/2023).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan, larangan ekspor pasir kuarsa saat ini masih sebatas wacana. Namun, pemerintah tengah mengkaji kebutuhan pasir kuarsa untuk bahan baku komponen produksi panel surya itu.
"Tapi kita melihat ketersediaan sumber potensi kita hitung. Misalnya, 1 meter persegi solar pv memakai berapa kilo sebagai silika sampai kemudian di-convert," kata Arifin di Gedung Kementerian ESDM, dikutip Rabu (9/8/2023).
Di sisi lain, pemerintah juga menargetkan kapasitas terpasang pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2060 mencapai 700 Giga Watt (GW). Sementara, dari kapasitas tersebut mayoritas Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan mendominasi dengan kapasitas sebesar 400 GW.
"Indonesia kan tadi dibilang punya rencana sampai 2060 300-400 GW, nah cukup apa enggak. Tapi yang pertama kita harus upayakan bangun dulu manufacturing facilities-nya, tapi kan sekarangg ini kita juga pasir sekilo berapa? murah kan? kalau bikin solar pv itu berapa, mahal kan, nah itu yang harus kita pertimbangkan ke depan," ujar Arifin.
Sebatas informasi, pasir kuarsa sendiri menjadi salah satu bahan baku pembentuk panel surya. Di mana, dalam catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), pasir ini banyak diekspor ke Tiongkok.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang juga sempat buka suara soal adanya opsi pelarangan ekspor komoditas pasir silika atau pasir kuarsa. Pada dasarnya hilirisasi memang harus dilakukan untuk sumber daya alam yang ada di Indonesia.
"Pada dasarnya dalam UU memang harus ada hilirisasi," ungkap Agus ditemui di Senayan Park, Jakarta Pusat, dikutip Rabu (9/8/2023). Lebih lanjut, ia menambahkan, selama ini pasir kuarsa kebanyakan diekspor ke Tiongkok.
Di sana, komoditas itu banyak digunakan untuk bahan pembentuk panel surya. Nilai tambah tersebut, menurut Agus, selama ini hanya dinikmati Tiongkok, padahal komoditas itu sangat banyak ada di Indonesia.
"Mereka yang nikmati nilai tambah, itu yang harus kita perhatikan. Seperti kasus nikel lah," beber Agus.
Sejauh ini, pemerintah sendiri sudah berhasil menarik minat salah satu pabrik pengolah pasir kuarsa besar asal Tiongkok untuk investasi di Indonesia. "Investornya kita ajak bicara dan ditargetkan masuk ke Indonesia, kan hasil dari kunjungan ke Tiongkok ada MoU dengan pabrik kacanya itu," sebut Agus.
Baginya, potensi nilai tambah pasir kuarsa bila dihilirisasi diyakini sangat besar. Bahkan, jauh lebih besar daripada turunan nikel.
"Kalau kuarsa besar sekali (nilai tambahnya), mungkin bisa lebih besar dari nikel," yakinnya. Menanggapi wacana tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menilai, kebijakan itu tidak salah.
Namun harus dipastikan industri di dalam negeri siap terlebih dahulu untuk bisa menyerap pasir kuarsa yang tidak bisa diekspor. Menurutnya, sumber daya cadangan pasir silika di dalam negeri sangat banyak dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, bahkan negara lain juga memiliki sumber daya tersebut.
Hal ini karena secara geologis, kuarsa (SiO2) merupakan unsur utama pembentuk kulit bumi. "Apabila pabrik atau smelter sudah terbangun di Indonesia, maka pemerintah bisa menerapkan pola DMO (domestic market obligation) seperti yang diterapkan di batu bara agar kebutuhan dalam negeri bisa dijamin," sarannya, melansir kumparancom, Rabu (9/8/2023).
Ia melanjutkan, di Indonesia sendiri pasir kuarsa sudah diproses untuk menghasilkan berbagai produk seperti gelas, kaca, kosmetik, pasta gigi, keramik, konstruksi, dan lain-lain. "Kami mendorong upaya pemerintah dan swasta untuk membangun industri pengolahan pasir kuarsa/ silika di dalam negeri karena bisa mendukung industri seperti pembuatan solar panel dan industri lainnya," ucapnya.
Sementara itu, Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) meminta pemerintah tidak terburu-buru melarang ekspor pasir kuarsa. Sebab, hanya akan menguntungkan negara produsen lain yang selama ini terganggu pasarnya karena keberhasilan Indonesia menjadi pemain pasir kuarsa dunia dalam tiga tahun terakhir.
"Jangan terburu-buru memutuskan pelarangan ekspor pasir kuarsa ini, karena Indonesia bukan produsen utama pasir kuarsa dunia. Jadi, kalau pelarangan ekspor ini dilakukan, ya negara produsen lain yang diuntungkan,” tegas Ketua Umum HIPKI Ady Indra Pawennari, melalui keterangan resmi, dikutip Rabu (9/8/2023).
Ia menambahkan, produksi dan ekspor pasir kuarsa Indonesia hampir tidak berpengaruh pada perkembangan industri panel surya dunia saat ini karena Indonesia baru melakukan ekspor pasir kuarsa pada awal 2020. Sementara industri panel surya global sudah berkembang jauh sebelum itu.
Pada 2020, produksi pasir kuarsa Indonesia adalah sebesar 1,87 juta meter kubik atau setara dengan 4,675 juta ton dengan berat jenis 2,5 ton/m3. Sementara yang diekspor hanya 744,392 ribu ton atau hanya sekitar 15,9 persen dari total produksi.
Kemudian, pada 2021, ekspor pasir kuarsa Indonesia sebesar 1.198.252 ton atau hanya sekitar 3,48 persen dari total nilai ekspor pasir kuarsa dunia yang didominasi oleh AS sebesar 31,2 persen, Australia 12,2 persen, dan Belgia 7,45 persen. Data pada 2021 juga menunjukkan, bahwa Indonesia berada di luar dari 10 besar produsen pasir kuarsa dunia, dengan produksi jauh lebih kecil dibanding AS, Australia, Belanda, India, Turki, Prancis, Italia, Bulgaria, Spanyol, Polandia, Kanada, Inggris, bahkan Malaysia, Argentina, dan Meksiko.
Jadi, ia menilai, alih-alih terburu-buru melarang ekspor, sebaiknya pemerintah menempuh strategi hilirisasi dengan mempercepat perbaikan iklim usaha. Seperti memastikan kemudahan perizinan, mendorong transparansi dan akuntabilitas, termasuk pemberantasan korupsi untuk semua sektor yang terkait dengan investasi sumber daya mineral.
Kemudian, mendorong percepatan pertubuhan industri dalam negeri yang menggunakan pasir kuarsa, termasuk industri microchip dan panel surya yang sangat strategis. Sehingga pasar domestik pasir kuarsa kualitas tinggi Indonesia menjadi lebih terbuka.
Hal ini juga akan mempercepat proses alih teknologi. "Sebagian besar pemilik konsesi pasir kuarsa orang daerah yang sangat terbatas dengan akses-akses tersebut. Dengan demikian, potensi pasir kuarsa di Indonesia semakin terekspos dan tahapan hilirisasi dapat dioptimalkan dengan baik,” paparnya.
Ia juga mengingatkan pemerintah soal imbas larangan ekspor nantinya kepada pengusaha daerah skala kecil dan menengah. Mereka bisa terganggu ekonominya karena kebijakan tersebut. (tim redaksi)
#wacanalaranganeksporpasirkuarsa
#pasirkuarsa
#silika
#panelsurya
#jokowiwacanakanlaranganeksporpasirsilika
#hilirisasiSDA
#menteriESDM
#arifintasrif
Tidak ada komentar