Breaking News

Ada Isu Impor Nikel di Tengah Kebijakan Hilirasi, Begini Respons ESDM hingga BKPM

Bijih nikel. (Ilustrasi/ Getty Images)


WELFARE.id-Hilirisasi nikel masih menuai prokontra di lapangan. Banyaknya smelter nikel di sejumlah daerah memicu persaingan produksi.

Rapat kerja antara Komisi VII DPR RI dan Menteri ESDM Arifin Tasrif bahkan sempat memanas ketika bicara persoalan impor nikel dan masalah birokrasi. Anggota Komisi VII Fraksi Demokrat Muhammad Nasir awalnya mengatakan, jika dirinya mendapat informasi terkait impor nikel. Ia pun merasa janggal mengingat Indonesia disebut-sebut sebagai penghasil nikel terbesar di dunia.

Di sisi lain, ia juga menyoroti banyak perusahaan-perusahaan yang tidak kredibel malah dikeluarkan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB)-nya. Sebaliknya, perusahaan yang memiliki kualitas dan kemampuan dipersulit oleh birokrasi.

Merespons hal tersebut, Arifin mengatakan, pihaknya telah menelusuri pemberitaan terkait dengan impor nikel. Menurutnya, perusahaan yang melakukan impor nikel merupakan perusahaan yang selama ini mengambil bahan baku dari Blok Mandiodo yang bermasalah.

"Jadi karena mereka harus berproses dan terkait dengan kontrak dengan offtaker di downstream-nya karena memang secara keseluruhan tidak boleh ekspor ore nikel ini. Semua produsen tambang sudah terikat dengan offtaker smelter yang sedang berjalan," terangnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum lama ini mengungkapkan, adanya perusahaan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Indonesia yang melakukan kegiatan pembelian bijih nikel dari luar negeri.

Hal tersebut cukup aneh, mengingat posisi Indonesia sendiri merupakan negara penghasil nikel terbesar no.1 di dunia.

Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Muhammad Wafid mengatakan, perusahaan smelter yang dimaksud melakukan impor bijih nikel dari Filipina. Perusahaan tersebut beralasan, impor bijih nikel dilakukan lantaran kurangnya pasokan bahan baku di dalam negeri.

"Ada isu nikel yang diimpor dari Filipina karena smelter kekurangan bahan," kata Wafid, dikutip Kamis (31/8/2023). Meski demikian, ia memastikan bahwa berdasarkan perhitungan seluruh Rencana Keuangan dan Anggaran Biaya (RKAB) nikel yang diterbitkan, bijih nikel untuk pasokan smelter di dalam negeri seharusnya mencukupi.

"Saya sampaikan bahwa saya coba hitung seluruh RKAB yang sudah kita setujui jumlahnya berapa input nikel yang dibutuhkan berapa hasilnya masih cukup. Tidak ada kekurangan di sekitar Sulawesi Utara, jadi terpaksa harus impor mungkin hal lain ya," tambah Wafid.

Merespons hal tersebut, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menilai, aksi impor bijih nikel ini dilakukan bukan karena kurangnya pasokan bijih nikel di Tanah Air. "Gini, kalau persoalan impor, saya nggak yakin bahwa terjadi kekurangan pasokan. Orang kan membangun smelter di Indonesia, punya tambang nikel di beberapa negara. Sulawesi Utara sama Manado itu kan sama Filipina itu kan lebih dekat. Mungkin saja, apa yang dia bangun smelter itu dekat juga, ada juga tambangnya di Filipina, mungkin saja," ungkapnya usai sebuah diskusi di Jakarta, dikutip Kamis (31/8/2023).

Di samping itu, Bahlil juga menyatakan belum ada satu kajian teknis manapun yang menyatakan bahwa sisa umur cadangan nikel RI tinggal 15 tahun lagi. Apalagi, lanjutnya, kegiatan eksplorasi untuk menambah cadangan baru belum marak dilakukan.

Menurutnya, impor bijih nikel ini merupakan praktik bisnis biasa. "Kalau cadangan nikel kita cukuplah. Mayoritas cadangan di dunia kan di Indonesia. Itu cuma persoalan praktek bisnis biasa itu," ulasnya.

Sebagai informasi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia tercatat mengimpor ore atau bijih nikel dan konsentratnya dengan Kode HS 26040000 dari Filipina seberat 38.850.000 kilogram pada Mei 2023. Jika ditelusuri dari tahun sebelumnya, seperti pada 2022, tidak ada impor ore nikel dan konsentratnya dari Filipina, begitu juga dengan catatan pada 2021 dan 2020.

Namun, pada 2019, tercatat impor dari Filipina sudah ada sebesar 56.663.000 kg pada Juni, dan 55.530.000 kg Agustus melalui Kolonodale, serta 57.000.000 kg pada Juli melalui Poso. Pada 2023 sendiri, selain dari Filipina, impor nikel dan konsentratnya juga tercatat dari Australia, Brasil, Tiongkok, dan Singapura. 

Meskipun, besarannya tak mencapai puluhan juta kg seperti dari Filipina, melainkan berkisar satuan hingga ribuan kilogram melalui Soekarno-Hatta, Pulau Obi, dan Tanjung Priok. Berdasarkan data Kementerian ESDM, mengolah data USGS 2023, Indonesia merupakan pemilik terbesar no.1 cadangan nikel dunia atau setara 21% dari total cadangan nikel dunia. Begitu juga dari sisi produksi, Indonesia merupakan peringkat no.1 terbesar sebagai produsen nikel di dunia atau 48% dari total produksi nikel dunia. (tim redaksi)


#orenikel

#imporbijihnikel

#tambangnikel

#smelternikel

#hilirisasinikel

#kementerianESDM

#menterESDM

#arifintasrif

Tidak ada komentar