Geger 2 Pimpinan Ponpes di Lombok Timur Tersangka Kasus Dugaan Kekerasan Seksual, 41 Santriwati Jadi Korban
Kekerasan seksual. ( lustrasi/ Shutterstock)
WELFARE.id-Kekerasan seksual kembali terjadi di lingkungan pondok pesantren (ponpes). Kali ini, kekerasan seksual bermodus "pengajian" dilakukan dua pimpinan ponpes di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Aksi bejat LMI, 43 tahun dan HSN, 50 tahun sungguh diluar nalar. Bukannya mengayomi santriwati memperdalam agama, keduanya justru melakukan pencabulan yang merenggut keperawanan murid-murid asuhnya.
Parahnya lagi, keduanya melakukan perbuatan bejat merancang kelas "pengajian seks" dengan iming-iming masuk surga. Perbuatan bejat dua pimpinan ponpes di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat itu terungkap usai 3 dari 41 korban melapor dan kini keduanya ditahan di Polres Lombok Timur.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam tindak kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh LMI (43 tahun) dan HSN (50). Apalagi, keduanya adalah pimpinan lembaga pendidikan keagamaan.
Tiga santriwati yang menjadi korban kebejatan dua pimpinan ponpes telah membuat laporan polisi. "Saat ini, pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar dalam keterangannya, dikutip Jumat (26/5/2023).
Ia menyebut, kasus ini terjadi dengan modus di antaranya “janji masuk surga” melalui “pengajian seks”. Tindakan ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan yang tidak dapat ditolerir dan patut dihukum berat.
Menurutnya, terduga pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16 – 17 tahun. "Terduga pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan, tidak hanya melindungi anak tapi juga seharusnya menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar. Dalam kasus ini terduga pelaku justru melanggarnya dengan melakukan tindak pidana kekerasan seksual kepada anak didiknya," kritiknya.
Kini, pelaku terancam hukuman maksimal berupa pidana mati, seumur hidup, dan/ atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Ia berharap penegakan hukum kasus ini juga dapat menggunakan UU No 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Ia juga meminta kepolisian mendalami kasus kekerasan seksual di dalam pondok pesantren ini. Termasuk membuka layanan pengaduan bersama.
Hal itu untuk mengantisipasi masih ada korban lainnya yang belum berani lapor karena berbagai alasan. Kepala Kepolisian Resor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat AKBP Hery Indra Cahyono memastikan pengembangan penyidikan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati yang terjadi di dua pondok pesantren (ponpes) di wilayah itu.
"Dari dua kasus ini kami sudah menetapkan tersangka dan melakukan penahanan. Jadi, sekarang proses hukum terus berlanjut dan berkembang," kata Hery kepada wartawan, dikutip Jumat (26/5/2023).
Pengembangan kasus, lanjutnya, mengarah pada penelusuran korban lain. Salah satunya, kasus dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati yang terjadi di ponpes wilayah Sikur.
Ada dugaan korban dalam kasus tersebut berjumlah 41 orang santriwati. "Untuk sementara ini dari hasil penyelidikan dan penyidikan memang di Sikur itu ada satu korban dan di Kotaraja, dua korban. Untuk persoalan ada dugaan korban lain, masih kami dalami," rincinya.
Ia pun berharap, apabila ada yang merasa menjadi korban, pihaknya mempersilakan agar melaporkan ke kepolisian. Untuk persoalan perlindungan korban dan saksi, hal tersebut akan menjadi bagian dari koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Untuk kasus di ponpes wilayah Sikur, tersangka berinisial HSN yang diduga seorang pimpinan pondok pesantren. Demikian juga dengan kasus di ponpes wilayah Kotaraja, tersangka yang diduga pimpinan ponpes berinisial LM.
Hery pun menyampaikan bahwa kedua tersangka diduga menjalankan modus kejahatan seksual dengan bujuk rayu agar korban mau berhubungan intim. Dengan terungkap modus demikian, kedua tersangka pun kini ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Juncto Pasal 76D Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 6C Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Terkait dengan penanganan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati di wilayah Sikur, Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram Joko Jumadi sebelumnya menyampaikan bahwa pihaknya mencatat sedikitnya ada belasan santriwati yang menjadi korban dari tersangka HSN. Bahkan, ia menunjukkan adanya bukti berupa grup komunikasi dalam media sosial WhatsApp yang sebagian anggotanya adalah korban.
"Di grup WhatsApp itu, yang anggotanya sekitar 30 orang, itu sebagian di antaranya menjadi korban juga. Tetapi yang berani bicara dan jadi saksi itu hanya satu. Kenapa begitu, karena ini soal keamanan," paparnya.
Dengan keterangan demikian, Joko pun meyakinkan bahwa korban dalam kasus ini tidak hanya satu orang. Bahkan, bisa jadi, perbuatan bejat tersangka itu, sudah dilakukan sejak lama.
"Karena sebagian korban itu alumni, ada yang sudah jadi pekerja migran, istri orang. Jadi, status itu yang membuat banyak korban tidak mau menjadi saksi," imbuhnya.
Meskipun demikian, Joko meyakinkan bahwa pihaknya akan membantu kepolisian untuk menangani kasus ini dengan tepat sasaran. "Ya, dalam kata lain kami harap tracking juga dilakukan, baik terhadap korban maupun adanya pelaku lain yang mungkin saja belum terungkap," tuntasnya. (tim redaksi)
#kekerasanseksual
#kekerasanseksualsantriwatidilomboktimur
#korbankekerasanseksual
#bermoduspengajian
#duapimpinanpompesdilomboktimurjaditersangka
#polreslomboktimur
#kementerianPPPA
Tidak ada komentar