Tes Calistung Dihapus Nadiem, Kemendikbudristek Segera Rombak Kurikulum Merdeka Belajar
![]() |
Siswa SD. Foto: Ilustrasi/ Net |
WELFARE.id-Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendukung kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) soal dihilangkannya tes baca, tulis, dan hitung (calistung) dalam PPDB jenjang Sekolah Dasar (SD). Namun, FSGI meminta aturan itu disertai pembenahan buku-buku teks kelas 1 SD.
"Karena FSGI menilai buku teks kelas 1 yang beredar dan digunakan banyak sekolah saat ini terlalu berat bagi anak yang masih belajar baca dan berhitung,” ujar Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti kepada wartawan, dikutip Jumat (31/3/2023). Retno menilai, buku teks kelas 1 SD didominasi dengan tulisan dan bacaan panjang.
Selain itu, pelajaran berhitung sudah rumit. Misalnya, ada pengurangan dengan angka cukup besar.
Sehingga anak bingung istilah berhitung dengan disimpan angkanya atau pinjam ke angka sebelahnya yang puluhan atau ratusan. "Ini PR yang harus juga dipertimbangkan, buku-buku teks SD kelas 1 seharusnya sejalan dengan Kebijakan Merdeka Belajar episode 24 ini," imbaunya.
Sekjen FSGI Heru Purnomo menambahkan, kebijakan baru Mendikbudristek Nadiem Makarim itu sekaligus menjadi kepastian hukum bagi penyelenggaraan seleksi PPDB untuk jenjang SD. Artinya, apabila SD melakukan tes calistung dalam PPDB SD, satuan pendidikan tersebut telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru.
Heru menyebut, masuk SD seleksi menggunakan usia, yaitu 7 tahun. Umumnya, tes calistung dilakukan oleh sekolah berbasis masyarakat atau SD swasta karena untuk SD negeri atau sekolah milik pemerintah ketentuannya sangat jelas, yaitu seleksi menggunakan usia anak.
Ia mengatakan, baca tulis dan berhitung seharusnya dimulai ketika anak berusia 7 tahun atau saat anak memasuki usia SD. Jadi, tak tepat menerapkan tes calistung ketika anak mau mendaftar SD.
"Umumnya anak-anak baru bisa fokus untuk belajar hitung-hitungan ketika mereka memasuki usia 6-7 tahun. Sebab, di usia ini sensorik dan motorik anak sudah siap untuk mempelajari angka-angka dengan baik,” paparnya.
FSGI juga mendorong Kemendikbudristek dan Dinas Pendidikan mengedukasi guru dan orang tua terkait kebijakan meniadakan tes calistung untuk jenjang SD. Artinya, pandangan umum saat anak masuk SD sudah mampu calistung harus diubah.
Menanggapi saran asosiasi guru itu, Kemdikbudristek berjanji segera melakukan penyesuaian Kurikulum Merdeka Belajar. "Untuk mendukung kebijakan peniadaan tes baca tulis hitung dalam PPDB jenjang SD, Kemendikbudristek telah melakukan penyesuaian terhadap kurikulum," kata Direktur Sekolah Dasar Kemdikbudristek Muhammad Hasbi, dikutip Jumat (31/3/2023).
Hasbi mengatakan, Kurikulum Merdeka Belajar kini lebih menekankan kepada keselarasan capaian pembelajaran antara jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan SD kelas awal. "Sehingga anak tidak lagi diharuskan dan ditekan untuk bisa membaca, menulis dan berhitung sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar kelas awal," ujarnya.
Menurutnya, kemampuan literasi dan numerasi dapat diperoleh hingga kelas dua akhir di fase A SD. Ia juga menambahkan, penyesuaian dalam kurikulum tersebut tentu harus diikuti dengan penyesuaian strategi pembelajaran.
Pada proses awal penerimaan peserta didik, kata dia, anak-anak dan para orang tua perlu dikenalkan dengan lingkungan belajar mereka, sehingga diharapkan tumbuh rasa aman dan nyaman, yang akan melahirkan konsep yang positif terhadap belajar. "Di samping itu, guru perlu melakukan kegiatan belajar untuk memperoleh informasi awal terkait kemampuan setiap anak dan menjadikan informasi tersebut sebagai landasan untuk mengembangkan pembelajaran yang berdiferensiasi (berpusat kepada anak)," bebernya.
Sebelumnya, Mendikbidristek Nadiem Makarim menghapus calistung dalam PPDB Jenjang SD lantaran miskonsepsi atau kesalahpahaman mengenai calistung pada pendidikan anak usia dini (PAUD) masih saja terjadi. Ia menilai pengajaran calistung pada anak selama ini menggunakan metode yang salah sehingga membuat anak menganggap sekolah menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.
Menurut Nadiem, persepsi mengenai calistung adalah satu-satunya yang penting dalam pembelajaran PAUD memberikan sejumlah konsekuensi pada anak. Ia menilai konsekuensi paling menakutkan yakni anak merasa bahwa belajar itu tidak menyenangkan sejak dini.
Nadiem menyebut jika anak merasakan belajar bukan proses yang menyenangkan dari masa PAUD, maka akan sangat sulit memutar balik persepsi anak bahwa sekolah itu bisa menyenangkan. Penasihat Pengurus Pusat (PP) Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Netty Herawati, menyebut aturan itu bukan hal baru.
"Sudah ada sejak lama, ada Surat Edaran (SE) dari Dirjen PAUD Dikdasmen, ada imbauan ke sekolah-sekolah untuk tidak boleh ada calistung," paparnya.
Namun, Netty menilai SE tersebut tidak kuat. Sehingga, masih banyak sekolah terus menjalankan tes calistung sebagai syarat masuk SD.
Ia mengatakan, permasalahan tak hanya berhenti pada persoalan tes masuk. Namun, juga terkait pembelajarannya.
"Artinya penerapan pembelajaran calistung di PAUD maupun SD itu tidak diperkenankan apabila tidak diterapkan sesuai prinsip PAUD dan tidak mengikuti tahapan perkembangan anak," tutur dia. Namun, bukan berarti tidak mengajarkan keaksaraan kepada anak.
Ia menyebut yang mesti dilarang ialah cara pembelajaran yang tidak tepat. "Jadi, mudah-mudahan dengan adanya kebijakan dari Menteri (Mendikbudristek Nadiem Makarim) ini persoalan yang ada di lapangan dapat dikendalikan," harapnya. (tim redaksi)
#calistung
#mendikbudristeknadiemmakarim
#asosiasiguru
#FSGI
#himpaudi
#perubahankurikulumkelas1
#sekolahdasar
#pendidikan
#PPDB
Tidak ada komentar