Polemik Perppu Cipta Kerja, Buruh Ancam Aksi Jika Jalur Diplomasi Gagal!
Buruh sejak awal menolak pemberlakuan UU Cipta Kerja. Foto: Ilustrasi/ Antara
WELFARE.id-Sejak awal, buruh telah menolak mentah-mentah disahkannya UU Cipta Kerja pada 2020 lalu. Mahkamah Konstitusi (MK) pun seakan membenarkan, bahwa UU Ciptaker itu bermasalah, sehingga menyatakan bahwa UU tersebut inkonstitusional bersyarat, sehingga tak layak diberlakukan sebagai UU.
Namun sayang, baru-baru ini, Presiden Joko Widodo justru meneken dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja yang dinilai "potong kompas" terhadap hasil keputusan MK. Presiden Partai Buruh Said Iqbal tegas mengungkapkan, pihaknya akan melakukan aksi apabila Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tetap dipaksa untuk berjalan dengan isi yang seperti saat ini.
Sekarang, pihaknya masih akan melihat perkembangan sikap pemerintah dan DPR terlebih dahulu. "Kita lihat perkembangan sikap pemerintah, sikap DPR yang akan menerima Perppu itu bagaimana. Baru Partai Buruh bersama serikat buruh, serikat petani, dan kelas pekerja lainnya akan menggelar aksi kalau isi Perppu tidak sesuai," ujar Said dikutip dari siaran Youtube, Rabu (4/1/2023).
Turun ke jalan adalah langkah ketiga apabila dua langkah sebelumnya tidak menemukan titik terang. Di mana, langkah pertama yang akan Partai Buruh lakukan adalah melakukan langkah diplomasi.
Said mengatakan, pihaknya percaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mendengarkan aspirasi yang mereka berikan. "Partai Buruh percaya dengan Presiden Jokowi tentu akan mendengar. Karena yang membuat ini kan bukan Pak Jokowi, (tapi) tim Kementerian Perekonomian. Anda bisa bilang, tapi Pak Presiden harus tanggung jawab. Iya, tapi jangan 'dibohongi' dong. Kan berbahaya kalau kaya begitu," sindirnya.
Lewat jalur diplomasi itu, Partai Buruh akan menyampaikan sembilan poin yang menjadi perhatian mereka. Poin-poin itu terkait dengan upah minimum, pegawai alih daya, karyawan kontrak, pesangon, pemutusan hubungan kerja (PHK), tenaga kerja asing (TKA), pengaturan jam kerja, pengaturan cuti, dan terkait dengan sanksi pidana yang diatur dalam peraturan tersebut.
"Kalau diplomasi ini tidak (berhasil), jalur hukum akan kita tempuh. Tapi kita konsultasi dulu dengan ahli tata negara Partai Buruh. Boleh tidak Perppu di-judicial review. Kan Perppu harus dibawa ke DPR dulu, DPR putuskan, baru dapat nomor UU. Itu mau kita lihat perkembagannya," paparnya.
Menempuh jalur hukum adalah langkah kedua yang akan Partai Buruh lakukan. Tapi, Said percaya, presiden akan mendengarkan suara Partai Buruh yang mewakili kelas pekerja.
Karena itu, ia amat berharap langkah diplomasi dapat berjalan dengan baik ke depan. Sebelumnya, Said juga menjelaskan alasan pihaknya setuju dikeluarkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Selain karena ketidakpercayaan kepada DPR, ada sejumlah faktor kedaruratan yang membuat Perppu harus dikeluarkan. "Faktor-faktor darurat dari sisi konstituen Partai Buruh itulah maka Partai Buruh memilih tidak dibahas di Pansus DPR RI, tapi lebih ke dikeluarkannya Perppu. Tapi terhadap isi Perppu, kami menolak," tegasnya sebelumnya, dalam konferensi pers daring, Senin (2/1/2023).
Said menjelaskan, ada beberapa faktor kedaruratan yang saat ini tengah terjadi di tengah masyarakat. Pertama, darurat pemutusan hubungan kerja (PHK).
Di mana saat ini sangat mudah melakukan PHK tanpa mendapatkan pesangon yang semestinya. Lalu, terjadi pula darurat outsourcing atau pegawai alih daya.
Menurut dia, saat ini banyak sekali penggunaan pegawai alih daya dengan upah murah yang tidak ada jaminan pensiun serta jaminan kesehatan yang memadai. Berikutnya, ada darurat upah minimum, yang tidak naik dalam tiga tahun terakhir.
Said berujar pihaknya telah menyandingkan UU Cipta Kerja sebelumnya dengan Perpu Cipta Kerja dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hasilnya, ada empat poin yang menjadi sorotan Partai Buruh bersama organisasi serikat buruh lainnya.
Pasal pertama yang dinilai bermasalah adalah Pasal 88 ihwal upah minimum. Said menjelaskan di dalam Perppu Cipta Kerja disebutkan bahwa kenaikan upah minimum kabupaten dan kota 'dapat' ditetapkan oleh gubernur.
Kata dapat, menurutnya, menimbulkan celah di mana gubernur bisa saja tidak menetapkan kenaikan upa minimum. "Usulan kami jelas, cukup gubernur menetapkan upah minimum. Tidak perlu pakai kata "dapat"," ujarnya.
Said juga menyoroti soal formula kenaikan upah yang tercantum pada Pasal 88D Perppu Cipta Kerja. Dalam beleid itu, disebutkan variabel perhitungan kenaikan upah berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi. dan indikator tertentu.
Sementara itu, tidak ada penjelasan soal indeks tertentu itu seperti siapa pihak yang menetapkan indikator tersebut maupun dasar kajiannya. Pasalnya, menurut Said, tidak ada variabel atau istilah indeks tertentu dalam hukum internasional ihwal penetapan upah minimum.
Dia berujar, hanya ada dua formula yang bisa digunakan pemerintah dalam menetapkan upah minimum, yaitu melalui survei kebutuhan hidup layak (standard living cost) atau melalui variabel inflasi plus pertumbuhan ekonomi. "Kami menduga, ini hanya mau-maunya Kemenko Perekonomian nih. Kami menginginkan tidak menggunakan indikator tertentu. Cukup inflasi plus pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
Adapun dalam dengan UU Cipta Kerja disebutkan formula kenaikan upah minimum didasari variabel inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2023, berdasarkan survei kebutuhan hidup layak, kemudian turunannya yaitu PP nomor 78 2015 tercantum kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal lainnya yang ditolak oleh Pertai Buruh adalah Pasal 88 F. "Dalam keadaan tertentu, pemerintah dapat menentukan formula perhitungan upah minimum yang berbeda dengan formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada pasal 88 D ayat dua," tulis Pasal 88 F tersebut.
Artinya, pemerintah bisa sewaktu-waktu mengubah formula penghitungan kenaikan upah minimum. Said menilai aturan itu menunjukkan kesewenang-wenangan pemerintah.
Sebab, seharusnya peraturan tersebut bersifat rigid atau tidak mudah berubah. Apabila pemerintah berniat melindungi perusahaan yang yang tidak mampu atau mengalami kondisi kritis akibat krisis ekonomi, menurut Said, seharusnya pemerintah tidak menyamaratakan aturan untuk semua sektor.
Terlebih, masih banyak sektor yang mampu bertahan dan membayar kenaikan upah dalam kondisi sulit seperti saat pandemi COVID-19. Jika ada perusahaan yang kesulitan menerapkan formula kenaikan upah yang ditetapkan, ia menyarankan agar pemerintah mensyaratkan perusahaan yang tidak mampu itu untuk membuktikan kondisi perusahaan melalui laporan pembukuan keuangan secara tertulis.
Apabila perusahaan itu terbukti merugi selama dua tahun berturut-turut, baru pemerintah dapat menyetujui penangguhan kenaikan upah di perusahaan tersebut. "Kalau pakai ayat ini, semua sektor industri bisa diubah-ubah. Ini seenak-enaknya aja, berbahaya betul. Harusnya formula itu dispesifikasi kepada perusahan yang tidak mampu," tegasnya.
Terakhir, Partai Buruh meminta upah minimum sektoral (UMS) kabupaten dan kota dihilangkan. Sehingga hanya ada satu upah minimum berlaku berdasarkan wilayah. (tim redaksi)
#partaiburuh
#polemikperppuciptakerja
#presidenjokowidodo
#poinbermasalah
#UUciptakerja
#mahkamahkonstitusi
Tidak ada komentar