Breaking News

Makin Banyak Terjadi, Pemerintah Bakal Perketat Dispensasi Pernikahan Dini


WELFARE.id-Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  (Kemen PPPA) menyoroti maraknya pernikahan diusia muda alias pernikahan dini. Menteri PPPA Bintang Puspayoga pun berencana memperketat dispensasi nikah dini tersebut. 

Pemerintah tengah mengatur pengetatan tersebut agar dispensasi tak mudah diberikan. Langkah ini bertujuan untuk meminimalisir pernikahan anak yang berpotensi menyebabkan anak putus sekolah dan menjadi warga miskin ekstrem. "Saat ini pemerintah sedang mengatur mekanisme untuk pengetatan dispensasi kawin agar tidak dengan mudah untuk diperoleh,” ujarnya dikutip Selasa (17/1/2023). 

Bintang mengatakan, pemerintah terus berjuang untuk menekan jumlah perkawinan anak. Bahkan, penurunan jumlah perkawinan anak merupakan satu dari lima program prioritas Kementerian PPPA 2020-2024. 

Untuk itu, berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menurunkan angka perkawinan anak, di antaranya mengupayakan penguatan layanan informasi, edukasi, konseling dan konsultasi melalui layanan PUSPAGA yang sudah terbentuk sebanyak 257 PUSPAGA di 16 Provinsi dan 231 kabupaten/kota. 

Selain mengatur beleid soal memperketat dispensasi nikah dini, Bintang juga meminta pemerintah daerah (Pemda) setempat untuk menerbitkan kebijakan pencegahan perkawinan anak untuk kasus-kasus tertentu, di samping memberikan penguatan edukasi kepada anak remaja. 

“KemenPPPA mendorong seluruh Pemda dari tingkat provinsi hingga tingkat desa untuk menerbitkan kebijakan pencegah perkawinan anak dalam bentuk Perda, Pergub/Bup/Wal, surat edaran dan perdes," tandasnya. 

"Komitmen yang tinggi yang tertuang dalam bentuk kebijakan sangat perlu untuk mencegah perkawinan anak sehingga generasi penerus bangsa menjadi anak-anak yang unggul kelak,” lanjutnya. 

Lebih lanjut, Bintang menjelaskan, kebijakan ini dikaji usai banyaknya permintaan dispensasi kawin di beberapa wilayah. 

Terbaru, permintaan dilayangkan oleh ratusan anak remaja yang masih sekolah di Ponorogo. Kebanyakan terjadi akibat hamil di luar nikah. Sepanjang tahun 2022, ada 198 pemohon pengajuan dispensasi kawin anak. 

Kabupaten Ponorogo masih mencatatkan perkawinan anak yang tinggi. Pada 2020, mencapai 241 kasus dispensasi kawin anak, naik menjadi 266 kasus pada 2021. 

Pada 2022, kasus dispensasi kawin anak mengalami penurunan menjadi 191 kasus. “Untuk itu, saya meminta semua pihak, kementerian, lembaga, pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, orangtua, pendidik dan tenaga pendidikan, tenaga kesehatan, media, dan semua masyarakat mari bahu membahu untuk terus melakukan upaya pencegahan agar hal ini tidak terjadi lagi,” tukasnya. 

Bintang mengatakan, perkawinan anak di bawah umur memiliki dampak negatif yang sangat banyak. Di satu sisi, perkawinan anak merusak masa depan anak itu sendiri dan akan menggerus cita-cita bangsa untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan memiliki daya saing. “Perkawinan memicu tingginya angka putus sekolah dan dari sisi kesehatan rentan terjadinya kematian ibu melahirkan, anemia, ketidaksiapan mental dan juga terjadinya malnutrisi,” katanya. 

Dari sisi ekonomi, anak yang menikah pada usia dini terpaksa harus bekerja dan mendapatkan pekerjaan kasar dengan upah rendah sehingga kemiskinan ekstrim akan terus berlanjut. Belum lagi dengan ketidaksiapan fisik dan mental akan rentan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. “Karena itu, perkawinan anak tidak boleh terjadi lagi. Selain melanggar hak anak, juga melanggar hak asasi manusia," tandasnya. 

Terpisah, Komisioner KPAI Jasra Putra mengatakan, pernilahan dini dipengaruhi oleh latar belakang keluarga. "Kasus tersebut pernikahan siri yang sudah berlangsung, lalu hamil dan anak mengajukan dispensasi pernikahan. Adapun faktor yang banyak mempengaruhi adalah lingkungan keluarga, situasi kemiskinan. Anak tidak melanjutkan pendidikan di desa tersebut, menurut kepala dinas di mana tamat SMP [langsung] menikah," terangnya. 

Menurutnya, arus informasi yang membanjiri internet juga mempengaruhi anak dalam melakukan kegiatan seksual. Paparan video atau foto yang tidak ramah anak, bisa meningkatkan potensi anak melakukan hubungan seks. "Kalau kita tarik secara luas sosialisasi terkait reproduksi remaja selama pandemi ini kan mengalami masalah karena negara resources-nya lebih banyak COVID, sehingga penanganan sosialisasi terkait perlindungan anak dalam hal ini sex education sangat minim," katanya. 

Pusat-pusat konseling dan pendampingan bagi anak, menurut Jasra, harus kembali diaktifkan. Pemerintah harus memperbanyak tempat pendampingan anak agar mendapatkan informasi yang tepat khususnya terkait seks. "Ketika COVID sudah melandai, negara harus memiliki perhatian terkait perlindungan anak baik dari sisi regulasi, program, alokasi anggaran, SDM, termasuk juga layanan yang ada, baik itu Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga), UPT P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan) ini harus hadir kembali. Bagaimana memastikan layanan ini jadi layanan idola bagi masyarakat," imbuhnya. 

Doktor dari Universitas Negeri Jakarta ini mengatakan, terkait edukasi seksual, sebenarnya telah ada dalam pembelajaran di pendidikan formal, bahwa dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). 

"Terkait pendidikan seksual di kurikulum sebenarnya sudah ada, ya. Di PAUD, ada pelajaran yang disampaikan oleh guru, sentuhan yang boleh dan tidak boleh. Kemudian ketika mendapat sentuhan yang tidak boleh anak harus melakukan apa, kemudian termasuk guru harus melapor ke mana," katanya. 

Begitu juga tingkat SD, SMP, SMA, mata pelajaran biologi menjelaskan soal organ tubuh, yang saya kira ini disampaikan secara baik sesuai usia anak. Anak akan mengerti fungsi-fungsi tubuhnya, bagaimana anak menjaga fungsi organ tubuh secara baik, termasuk menghormati teman sebayanya. (tim redaksi) 

#nikahmuda
#pernikahandini
#kemenpppa
#dispensasinikahdini
#edukasiseks

Tidak ada komentar