Market Besar, Kinerja Keuangan 4 Bank Digital Ini Ikut Terkerek di Kuartal III-2022
WELFARE.id-Tren pertumbuhan bank digital di masa pandemi COVID-19 kian masif. Kinerja keuangan sejumlah emiten bank digital pun menunjukkan tren peningkatan sampai kuartal III 2022.
Meskipun masih ada sebagian bank digital mencetak rugi. Sedangkan harga sahamnya mulai berangsur-angsur terkerek setelah sempat terhempas pada awal November 2022.
Hingga September 2022, setidaknya empat emiten bank digital sudah mencetak laba. Keempat bank tersebut adalah PT Bank Jago Tbk (ARTO), PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI), PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO), dan PT Bank Seabank Indonesia.
Sementara bank digital lainnya yang masih mencatatkan rugi adalah PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB), PT Bank Aladin Syariah Tbk (BANK), dan PT Bank Digital BCA. Dari keempat bank yang mencetak laba, Seabank masuk dalam daftar dengan pertumbuhan tertinggi, kecuali dari sisi laba bersih.
Bank yang terafiliasi dengan Shopee dan anak usaha Sea Group ini mencatatkan pertumbuhan kredit 448% selama setahun. Dari Rp2,97 triliun pada akhir September 2021 menjadi Rp16,28 triliun pada akhir September 2022. Begitu juga dengan dana pihak ketiga (DPK) bank ini yang tumbuh 428% menjadi Rp19,75 triliun.
DPK ini didominasi oleh tabungan dan giro (current account saving account/ CASA) sebesar 60,89%. Namun, CASA di Seabank, khususnya tabungan dikenal memiliki bunga yang tinggi.
Misalkan, Seabank memberikan bunga tabungan hingga 7% sejak tahun lalu hingga Agustus 2022. Saat ini Seabank masih memberikan bunga tabungan sebesar 6%.
Didorong penyaluran kredit tinggi, Seabank mencatatkan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) Rp2,39 triliun, naik 14 kali lipat secara year on year (yoy). Namun, penyaluran kredit yang kencang ini ternyata berdampak pada kualitas aset.
Seabank mencatatkan kerugian penurunan nilai aset keuangan keuangan (impairment) yang cukup besar. Nilainya mencapai Rp1,69 triliun.
Angka ini sejalan dengan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan (CKPN) yang mencapai Rp1,65 triliun. Berikutnya adalah Bank Jago, salah satu pelopor bank digital di Indonesia.
Bank ini mencatatkan DPK sebesar Rp7,28 triliun pada akhir September 2022, tumbuh 186% secara yoy. Dari total DPK, produk CASA mendominasi hingga 71% dengan nilai Rp 5,14 triliun.
Hal ini didorong oleh peningkatan jumlah nasabah sebanyak 3 kali lipat, dari 1,4 juta nasabah pada akhir 2021 menjadi 4,2 juta pada akhir September 2022. Dari sisi aset, Bank Jago mencatatkan outstanding kredit sebesar Rp8,16 triliun meningkat 119% secara yoy.
Pertumbuhan cepat ini didukung oleh pertambahan mitra Bank Jago dalam partnership lending, yaitu kerja sama penyaluran kredit dengan berbagai ekosistem. Hingga akhir September 2022, Bank Jago telah menggandeng 32 institusi dalam partnership lending.
Dari sisi laba rugi, Bank Jago mencatatkan NII sebesar Rp983,84 miliar, meningkat 210% secara yoy. Sementara laba bersih yang diraih mencapai Rp40,57 miliar, dibandingkan setahun sebelumnya yang tercatat rugi Rp33 miliar.
Jadi, dari sisi profitabilitas, Jago lebih baik dari Seabank. Dengan NII Rp983,8 miliar, Jago mampu mengantongi laba bersih Rp40,57 miliar.
Bandingkan dengan NII Seabank yang mencapai Rp2,39 triliun tapi tersisa sebagai laba bersih hanya Rp13,9 miliar. Bank yang dulu bertransformasi dari Bank Artos ini mencatatkan ekuitas Rp8,29 triliun pada akhir September 2022.
Ini merupakan ekuitas terbesar yang dimiliki oleh bank digital. Bahkan sebagian bank digital masih berkutat untuk menambah modal pada tahun ini, karena memiliki ekuitas di bawah modal minimum Rp3 triliun.
Berikutnya adalah Allo Bank yang dimiliki oleh taipan Chairul Tanjung. Allo Bank mencatat pertumbuhan kredit sebesar 246% menjadi Rp7,16 triliun pada akhir September 2022.
Namun, pertumbuhan lebih rendah terjadi pada DPK yang meningkat 84,48% menjadi Rp4,07 triliun. Bila dibedah lebih dalam dari DPK, Allo Bank yang mengklaim telah memiliki lebih dari 3,3 juta nasabah, ternyata hanya mengelola tabungan Rp257 miliar, atau hanya 6% dari total DPK.
Sebaliknya, deposito mendominasi hingga 93,14% dengan nilai Rp3,79 triliun. Hal ini mencerminkan sebagian besar nasabah masih mencari bunga deposito, bukan untuk transaksi perbankan.
Dalam laporan laba rugi, Allo Bank mencatatkan pendapatan bunga bersih (NII) Rp406,08 miliar, tumbuh 208,67% secara yoy. Nilai NII ini relatif lebih kecil dibandingkan para kompetitornya.
Meski demikian, Allo Bank juga mencatatkan sejumlah pendapatan di luar bunga, salah satunya adalah pendapatan komisi dan provisi (fee based income) senilai Rp117,96 miliar. Dengan demikian fee based income berkontribusi sekitar 19% dari total pendapatan, baik bunga maupun non bunga.
Dengan pendapatan tersebut, Allo Bank mencatat laba bersih Rp209,03 miliar. Ini merupakan laba terbesar di antara bank digital hingga kuartal III 2022.
Berikutnya adalah Bank Raya yang merupakan anak usaha PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Dari seluruh bank digital yang ada, hanya Bank Raya mencatatkan pertumbuhan negatif atau turun, baik dari kinerja aset, penyaluran kredit, dan penghimpunan DPK.
Misalkan penghimpunan DPK turun 42,93% dari Rp16,86 triliun menjadi Rp9,62 triliun. Penyaluran kredit turun 41,52%, dari Rp14,32 triliun menjadi Rp8,37 triliun.
Adapun total aset turun 36,77% dari Rp20,53 triliun menjadi Rp12,98 triliun pada akhir September 2022. Dengan penurunan aset tersebut, pendapatan bunga bersih tercatat turun 21,7% menjadi Rp514,15 miliar.
Sayangnya, pada periode yang sama Bank Raya juga mencatatkan kerugian penurunan nilai aset keuangan sebesar Rp456,91 miliar sehingga laba bersih yang diraih hanya sebesar Rp32,47 miliar. Melihat fenomena pertumbuhan bank digital, Head of Research Sucor Sekuritas Edward Lowis mengatakan, dengan potensi dan peluang bank digital yang sangat besar, ia memperkirakan, kinerja keuangan pun akan terus diperbaiki.
Meski ada ancaman resesi tahun depan, bank digital diperkirakan masih berpeluang tumbuh tahun depan. Melihat kebutuhan pasar dari sisi kepraktisan dalam bertransaksi perbankan.
Direktur Utama PT Bank Jago Tbk (ARTO) Kharim Siregar juga mengaku optimistis terkait potensi kekuatan besar bank digital di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Hal ini berkaca pada total populasi di Asia Tenggara yang mencapai sekitar 400 juta penduduk, kemudian ditopang dari sisi demografi rata-rata penduduknya paling muda dibandingkan kawasan lainnya.
"Dari sisi acceptable digital mereka paling tinggi. Jadi semua istilahnya perkembangan digital banking itu larinya ke sini yang lain pada ikut," ujar Karim, awal bulan ini.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi strategis dengan ekosistem untuk mendorong pertumbuhan bank digital serta mengakselerasi jumlah masyarakat dalam mendapatkan produk dan layanan keuangan secara signifikan. "Semangat mengedepankan inklusi keuangan mendorong kami untuk terus berinovasi dan berkolaborasi dengan ekosistem digital. Sebagai bank berbasis teknologi, kami mengembangkan produk dan layanan kami agar dapat tertanam dalam berbagai ekosistem digital," kata Kharim. (tim redaksi)
#bankdigital
#pertumbuhanbankdigital
#kinerjakeuanganbankdigital
#trenpertumbuhanpasarbankdigital
#ancamanresesi
#ekosistemdigital
Tidak ada komentar