Breaking News

Hakim MK Dilantik di Tengah Kontroversi Pencopotan Aswanto

Pelantikan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah (ist) 

WELFARE id-Pemerintah memutuskan melantik Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi di tengah kontroversi pencopotan Aswanto oleh DPR. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menjelaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak bisa mengubah keputusan dari lembaga lain. 

"Jadi pertama ya dalam sistem ketatanegaraan kita ini kan ada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan presiden tidak bisa mengubah keputusan yang sudah ditetapkan lembaga negara yang lain dalam hal ini adalah DPR," kata Pratikno di Istana Negara, dikutip Kamis (24/11/2022). 

"Jadi presiden tidak bisa mengubah keputusan yang telah ditetapkan oleh DPR, dalam hal ini adalah pengusulan penggantian hakim MK," tambahnya. 

Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menegaskan, hakim konstitusi akan tetap bersikap independen dalam mengeluarkan setiap putusan. 

Hal ini disampaikan Anwar merespons kekhawatiran beberapa pihak bahwa MK tak independen setelah pergantian hakim MK yang dilakukan sepihak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Ketika hakim memegang sebuah putusan, apapun komentar, apapun tekanan, katakan lah begitu, hakim tidak boleh terpengaruh, dan itulah yang dilaksanakan oleh para hakim MK selama ini," katanya. 

Anwar menuturkan, setiap mengucapkan putusan, hakim selalu mengawalinya dengan membaca kalimat, 'demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa'. 

Hal itu, lanjutnya, menandakan bahwa hakim bertanggung jawab langsung kepada Tuhan atas putusan yang ia buat, di samping kepada masyarakat, bangsa, dan negara. "Jadi, soal independensi hakim itu ada dalam diri hakim masing-masing," tandasnya. 

Ia pun tak mau berkomentar mengenai kontroversi terkait pencopotan hakim MK Aswanto yang digantikan oleh Guntur Hamzah. Aswanto mengatakan, sebagai hakim, ia tidak boleh berkomentar terkait hal itu. Sebab, menurutnya, hakim hanya berbicara melalui putusan yang mereka buat. "Makanya selama ini juga memang MK tidak memberi tanggapan, karena hakim tidak boleh membicarakan atau mengomentari putusan hakim lain termasuk putusannya sendiri," tukasnya. 

Guntur dipilih DPR menggantikan Aswanto karena Aswanto diduga kerap menganulir produk undang-undang yang dibuat oleh DPR, padahal ia merupakan hakim konstitusi yang dipilih oleh parlemen. "Tentu mengecewakan dong. Ya bagaimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia. Dia wakilnya dari DPR. Kan begitu toh," kata Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, 30 September 2022. 

"Dasarnya Anda tidak komitmen. Enggak komit dengan kita. Ya mohon maaflah ketika kita punya hak, dipakailah," imbuh politisi PDI-P tersebut. 

Keputusan ini mendapatkan reaksi keras. DPR dianggap telah mengobok-ngobok MK dan melanggar aturan soal pergantian hakim konstitusi. 

Sebab, berdasarkan Undang-Undang MK, Aswanto semestinya masih menjabat hingga memasuki usia pensiun. Keputusan DPR memilih Guntur untuk menggantikan Aswanto juga dipersoalkan karena dilakukan mendadak dan dinilai tidak transparan. 

Guntur Hamzah pun akhirnya angkat suara terkait proses pengangkatan kontroversialnya. Ia menjawab diplomatis memohon doa agar bisa menjalankan tugasnya dengan baik. "Saya mohon doa saja, mohon doakan supaya saya bisa jalankan tugas ini dengan sebaiknya," katanya. 

Terpisah, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) mengkritik pelantikan Guntur Hamzah. Direktur PSHK FH UII Dian Kus Pratiwi mengatakan terdapat rentetan proses inkonstitusional dalam pelantikan Guntur Hamzah menjadi hakim MK oleh presiden. Menurutnya pelantikan itu cacat dari segi proses usulan oleh DPR. 

"Proses pengusulan Guntur Hamzah dilakukan secara tertutup yang hanya melibatkan internal DPR. Sehingga, hal ini jelas-jelas telah melanggar Pasal 20 ayat (2) UU MK yang mengamanatkan bahwa proses pemilihan hakim konstitusi dilakukan melalui proses seleksi yang objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka," katanya. 

Dian melanjutkan, proses pengusulan Guntur Hamzah oleh DPR juga didahului dengan pemberhentian Aswanto dari jabatan hakim konstitusi. Hal tersebut juga telah melanggar Pasal 23 ayat 4 UU MK, yang menyatakan bahwa pemberhentian hakim hanya bisa dilakukan dengan Keputusan Presiden atas permintaan dari Ketua MK. 

"Sehingga, DPR tidak berhak dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian hakim MK. Tindakan pelampauan kewenangan oleh DPR dapat dikategorikan sebagai bentuk intervensi DPR terhadap kekuasaan kehakiman," tegasnya. 

Menurutnya, hal ini jelas-jelas melanggar Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa MK bersifat merdeka dan independen. Oleh karena itu, MK tidak ada hubungan dan bukan merupakan bagian dari DPR. 

"Bahwa proses pemberhentian dan pengusulan yang berakhir pada pelantikan hakim konstitusi yang inkonstitusional tersebut, apabila diteruskan dapat menjadi preseden yang buruk dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan secara umum dalam penyelenggaraan praktik ketatanegaraan," ucapnya. 

"Sehingga terjadi pembangkangan terhadap amanat reformasi dari yang seharusnya menyelenggarakan rule of law bergeser menjadi rule by man or politics," imbuhnya. 

Oleh karena itu, kata Dian, PSHK FH UII merekomendasikan agar Presiden Jokowi bisa menganulir pelantikan Guntur. Selain itu, dia juga meminta agar lembaga pengusul Hakim Konstitusi yakni DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung perlu merumuskan model serta format seleksi Hakim Konstitusi sesuai yang telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU MK. "Kepada Presiden untuk segera menganulir pelantikan Guntur Hamzah menjadi Hakim Konstitusi karena prosesnya yang inkonstitusional," pungkasnya. (tim redaksi) 

#hakimkonstitusi
#pelantikanhakimkonstitusi
#kontroversipelantikanhakimkonstitusi
#mahkamahkonstitusi
#mk
#istanapresiden

Tidak ada komentar