Breaking News

BPOM Lalai di Pengawasan, Ahli Epidemiologi Imbau Jangan Tergesa-gesa "Buang Badan" ke Farmasi

Pasien gagal ginjal sedang melakukan cuci darah. Foto: Ilustrasi/ Net

WELFARE.id-Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane meminta, agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI tidak gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan terkait temuan cemaran senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DG) yang melebihi ambang batas pada sejumlah produk obat sirup yang beredar di Indonesia. 

Seperti diberitakan sebelumnya, Senin (31/10/2022), BPOM mengumumkan, adanya temuan obat sirup dari dua farmasi yang tercemar EG dan DEG penyebab gagal ginjal akut pada anak.

Kedua perusahaan farmasi itu, menurut BPOM terbukti menggunakan bahan baku propilen glikol yang mengandung etilen glikol sebesar 48 mg/ml. Di mana syaratnya harus kurang dari 0,1 mg/ml.

Masdalina Pane justru mempertanyakan pengawasan BPOM dalam memberikan perizinan edar obat di masyarakat. Ia kemudian menyinggung proses pidana yang ditujukan pada perusahaan farmasi tersebut.

"Temuan ini membuktikan bahwa fungsi pengawasan BPOM tidak jalan. Jadi selama ini apa yang dikerjakan? Perizinan saja? Kan, mereka sudah mengantongi izin edar. Jadi jangan sampai membuat kebijakan yang menembak diri sendiri sebenarnya," kritik Masdalina, dikutip Kamis (3/11/2022).

Padahal, lanjut dia, seharusnya BPOM mudah saja melakukan pengawasan. Caranya, dengan melakukan sampling uji coba per bets produk obat. 

Namun, dia menuding, BPOM tidak ada upaya untuk mitigasi ataupun pencegahan agar tidak terjadi kondisi yang diduga mengakibatkan ratusan anak meninggal akibat gagal ginjal akut itu. 

"Kalau menurut saya, jauh lebih bijak kalau mengakui saja, bahwa oke kami (BPOM) akan meningkatkan pengawasan. Kami lalai pada bagian ini, kan tidak masalah. Dibandingkan tembak sana-sini menyalahkan yang lain," ucapnya.

Lebih lanjut, dia juga menjelaskan, sejumlah kasus gagal ginjal akut pada anak tidak berkaitan dengan pemberian obat.  Masdalina malah menduga kasus gagal ginjal akut ini bisa jadi disebabkan oleh multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) pasca COVID-19, seperti 13 kasus di Jogjakarta hingga delapan kasus di Sumatera Utara

"Saya kira wajar saja perusahaan obat protes tentang hal tersebut karena dibawa ke ranah pidana. Saya yakin mereka juga punya tim legal, jadi nanti pemerintah yang harus siap kalau sampai ada penuntutan," imbuhnya.

Sebelumnya, menurut data terakhir dari Kemenkes, hingga tanggal 31 Oktober 2022, telah tercatat sebanyak 159 kasus kematian pada anak-anak yang disebabkan oleh gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI).  Adapun pasien yang meninggal didominasi oleh anak berusia 1-5 tahun dengan total mencapai 106 kasus.

"Kematian ada 159 (kasus) kematian, terbanyak di kelompok umur 1-5 tahun sebanyak 106 anak. Sampai dengan tanggal 31 Oktober 2022, tercatat juga 304 kasus yang tersebar di 27 provinsi. Secara detail yang 10 besar provinsi terbanyak (termasuk) DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” kata Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril.

Sebelumnya, Epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman juga menyoroti lemahnya Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM) dan pemerintah dalam mendeteksi obat yang mengandung senyawa berbahaya. Obat-obatan yang mengandung senyawa berbahaya seperti EG dan DEG baru terdeteksi sekarang. 

Padahal, senyawa tersebut diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut. "Ada kesalahan atau lemahnya, atau bahkan buruknya sistem quality control atau pengawasan obat. Dan ini lolos berarti," ujar Dicky, dikutip Kamis (3/11/2022).

Melemahnya pengawasan terhadap obat, kata Dicky, harus dianalisis lebih jauh dan diteliti keterkaitannya dengan pandemi COVID-19. Sebab, kasus gagal ginjal akut mulai terdeteksi awal Januari 2022.

"Apa karena kebutuhan obatnya banyak sehingga lost begitu, atau penurunan mutu, atau penurunan mutu, ada potensi dugaan memanfaatkan situasi. Misalnya ya ini," bebernya.

Namun demikian, Dicky menilai itu tak bisa dijadikan alasan. Sebab, kasus gagal ginjal akut sebenarnya bukan hal baru. 

Selain itu, adanya dugaan yang dikaitkan dengan obat sirup pun sudah lama. "Seharusnya para pihak berwenang yang mengawasi ini lebih aware, tidak menunggu kasus seperti ini," sarannya.

Terlebih, kata Dicky, konsumsi obat juga meningkat saat pandemi. Orang yang terjangkit COVID-19 juga kemungkinan mengonsumsi obat yang mengandung senyawa berbahaya tersebut.

"Artinya, karena ini kejadiannya begitu merebak cepat dalam masa tahun ketika pandemi, tentu kita harus melihat keterkaitannya dengan pandemi, baik langsung atau tidak langsungnya," imbuhnya lagi.

Sementara itu, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia menilai, tingginya kasus misterius gagal ginjal akut pada anak merupakan bukti buruknya kerja BPOM. Ketua Umum KPCDI Tony Richard Samosir mengatakan, BPOM sebagai pemangku kepentingan terhadap keamanan dan mutu obat harus bertanggung jawab di balik tingginya kasus misterius gagal ginjal pada anak. 

Ia sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta tapi saat ini sudah sembuh. "Karena salah satu tugas dan fungsi BPOM adalah mengeluarkan izin edar obat atau makanan hingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat secara aman," ujar Tony dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (3/11/2022).

Ia mengatakan, BPOM bertugas melakukan pengawasan premarket dan postmarket. Lembaga ini juga menjadi pihak yang melakukan uji laboratorium guna mengetahui apakah obat sirup ini telah memenuhi syarat keamanan. 

Atas dasar itu, Tony mempertanyakan bagaimana mekanisme kerja BPOM dalam memeriksa kandungan, komposisi, dan izin edar dari obat dan makanan yang dikonsumsi masyarakat. Bahayanya, kata Tony, jika pemeriksaan ini dilakukan tidak rutin sehingga hal ini dapat terjadi—dan tidak menutup kemungkinan terjadi obat dan makanan jenis lainnya. (tim redaksi)

#bpom
#ahliepidemiolog
#izinedar
#perusahaanfarmasi
#obatsirup
#gagalginjalakutpadaanak
#pasiengagalginjal

Tidak ada komentar