Breaking News

BBM Subsidi Tepat Sasaran, Saatnya Ucapkan Selamat Tinggal pada Polusi Jakarta

Ilustrasi (dok welfare.id) 

WELFARE.id-Penyaluran BBM bersubsidi dinilai belum efektif. Padahal, PT Pertamina (Persero) mencatat, penyaluran kuota bahan bakar bersubsidi (BBM) bersubsidi Pertalite hingga Oktober telah terserap 24,5 juta kiloliter (kl). Berarti, penyaluran kuota telah mencapai 82 persen dari kuota tahun ini yang sebanyak 29,9 juta kl. Dengan demikian, sisa kuota Pertalite hanya tinggal 5,4 juta kl hingga akhir tahun. 

Sementara, penyaluran kuota BBM bersubsidi solar telah mencapai 14,4 juta kl atau 81 persen dari kuota sebesar 17,8 juta kl, sehingga hanya tersisa 3,4 juta kl. Stok kuota BBM bersubsidi Pertalite dan solar tersebut harus mencukupi hingga akhir tahun. Sebab, pemeritah bakal sulit untuk kembali menambah kuota jika konsumsi terus meningkat. "Diharapkan sisa kuota BBM bersubsidi mencukupi hingga akhir tahun," ujar Sektetaris Perusahaan Pertamina Parta Niaga, Irto Ginting. 

Adapun kuota BBM bersubsidi yang tersisa saat ini merupakan hasil penambahan yang dilakukan oleh pemerintah pada awal Oktober lalu. Pemerintah sebelumnya menambah jatah kuota BBM bersubsidi Pertalite sebanyak 6,86 juta kl dari kuota awal 23,05 juta kl. Sedangkan, penambahan BBM bersubsidi solar sebanyak 2,73 juta kl dari kuota awal tahun yang sebesar 15,1 juta kl. "Dihimbau agar masyarakat dapat menggunakan BBM sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan di masing masing kendaraan," tandasnya. 

Penggunaan BBM bersubsidi menjadi salah satu perhatian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) saat ini. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, dengan merujuk pada UU 30 Tahun 2017 tentang Energi menegaskan subsidi energi itu adalah hak masyarakat yang tidak mampu. Sayangnya, penggunaan BBM subsidi 20 persennya adalah masyarakat yang mampu.  

Menurut Tulus, penggunaan BBM bersubsidi harus dibatasi agar penggunaannya lebih tepat sasaran. "Jika merujuk pada konfigurasi persoalan di atas, kebijakan pengendalian BBM bersubsidi adalah masuk akal. Barang bersubsidi apapun jenisnya harus dibatasi dan dikendalikan," ujarnya dalam diskusi publik bersama KBR terkait Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta secara virtual, dikutip Kamis (10/11/2022). 

Tulus mengatakan, mobilitas kendaraan motor yang bisa dengan leluasa masuk ke dalam gang, turut mengambil peran dalam penyebaran polusi udara hingga polusi suara merata ke seluruh DKI Jakarta. "Motor yang bisa masuk ke dalam gang tentu bisa dengan mudah menyebarkan polusi udara hingga polusi suara secara merata," katanya. 

Ia mengatakan, polusi emisi menyebabkan langit Jakarta mendung. Sehingga langit gelap seperti akan terjadi hujan.  "Tapi kalau di Jakarta masih menggunakan kendaran pribadi menyebabkan langit Jakarta mendung, sehingga langit gelap seperti akan terjadi hujan," imbuhnya. 

Berdasarkan data dari KLHK, tercatat indeks polusi udara terjadi penurunan setelah terjadinya kenaikan BBM subsidi pada September lalu. 

Namun KLHK belum memberikan pernyataan resmi berapa persen penurunan polusi udara. "Pemantauan polusi udara mencatat dari september setelah kenaik bbm kualitas udara membaik, nilainya (polusi udara) menurun kami sudah menyiapkan datanya, namun belum memiliki berapa persen turunnya," ujar Direktur Pengendalian Pencemaran Udara (KLHK) Luckmi Purwandari. 

Menurut Luckmi, polusi kendaraan bermotor diperketat dengan produksi kendaraan bermotor di atas tahun 2016 harus memenuhi standar emisi. "Emisi lebih baik dengan penggunaan (kendaraan bermotor) dari tahun 2016, namun berbeda dengan produksi motor dibawah tahun 2016," tukasnya. 

Oleh karena itu Kepala Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo menghimbau, masyarakat dapat menggunakan kendaraan umum agar pemerintah dapat menghemat anggaran untuk mensubsidi BBM. "Sehingga kami menghimbau upaya ini (masyarakat menggunakan transportasi umum) agar pemerintah (dapat) menghemat subsidi bbm yang kapasitasnya cukup besar pada tahun-tahun kebelakang," tuturnya. 

Selain itu, menurutnya dengan menggunakan kendaraan umum masyarakat dapat memiliki kepastian waktu perjalanan sampai tempat tujuan dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi. "Jika kita menggunakan kendaraan pribadi kita akan menghadapi kepadatan lalu lintas kemacetan, sehingga tidak adanya kepastian waktu untuk mencapai tujuan. Karena layanan Transjakarta sudah steril lajurnya, kemudian bila menggunakan KRL, MRT atau LRT di sana pasti adanya kepastian waktu keberangkatan dan juga kedatangan di stasiun yang sudah ditentukan," katanya. 

Tulus pun menyampaikan dua rekomendasi pengendalian BBM subsidi pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “Pengendalian BBM Subsidi itu harus secara operasional dalam arti harus ada insentif dan disinsentif," tandasnya. 

Insentif yang dimaksud Tulus adalah Pemprov DKI harus mendorong sebanyak mungkin penyediaan transportasi publik massal sehingga terjadi migrasi ke angkutan umum. “Itu akan berkontribusi untuk menurunkan emisi,” ucapnya. 

Untuk disinsentif, kata Tulus, bila masyarakat masih tidak mau menggunakan angkutan umum yang sudah disediakan, berarti dia harus menggunakan bahan bakar yang lebih mahal. “Karena dia telah mencemari lingkungan dengan bahan bakar yang digunakan kendaraan pribadinya,” tuturnya. 

Ia mengatakan, warga Jakarta seharusnya memang menggunakan bahan bakar yang bekualitas lebih tinggi dan mahal. "Karena tingkat emisi di Jakarta Itu paling tinggi,” ujarnya. 

Tulus menyampaikan, apabila Jakarta menginginkan warganya yang semakin sehat, bersih dan nyaman, mau tidak mau penggunaan BBM di Jakarta harus menggunakan BBM yang berkualitas dan ramah lingkungan. “Karena ya pasti sekuat apapun angkutan umumnya pasti orang itu memilih kendaraan pribadinya, kalau angkutan umumnya blm dianggap memadai,” ucapnya. (tim redaksi) 

#bbmsubsidi
#bbm
#subsidibbm
#ylki
#polusi
#emisi

Tidak ada komentar