Alokasi Dana Komando 4% Sudah Jadi Hal Rutin, Dirinci dalam Kasus Dugaan Korupsi Helikopter AW-101
Helikopter. Foto: Ilustrasi/ Net
WELFARE.id-Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan lima saksi kasus dugaan korupsi helikopter AW-101 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (31/10/2022) siang.
Dua dari kelima saksi merupakan pegawai bank yang pernah bertugas di Markas Besar TNI, yakni Ratna Kumala Dewi dan Bayu Nur Pratama.
Sementara itu, tiga saksi lain yakni prajurit TNI Angkatan Udara meliputi, Letda Sigit Suwastono, Letkol Fiki Simatupang, dan Kapten Muhammad Adi Rahman.
Dalam kasus ini, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway didakwa merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp738.900.000.000 dalam dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI Angkatan Udara (AU) periode 2015-2017.
Bintara Urusan Bayar Markas Besar TNI Angkatan Udara (AU) Sigit Suwastono dalam sidang kemarin menyebut, alokasi dana komando (dako) sebesar 4 persen sudah jadi hal yang rutin. "Dalam (pengadaan heli) AW 101 tidak ada kekhususan 4 persen, jadi semuanya sudah rutinitas," kata Sigit yang menjadi saksi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Ia adalah tentara aktif yang bertugas sebagai pemegang kas di Mabes TNI Angkatan. Sigit menjadi saksi untuk Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh yang didakwa melakukan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW) 101 di TNI AU angkatan 2016 yang merugikan keuangan negara senilai Rp738,9 miliar.
Dalam dakwaan Irfan disebutkan, ada dana komando (DK/dako) ditujukan untuk Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU) periode 2015-2017 Agus Supriatna senilai Rp17,733 miliar dari Irfan Kurnia.
Jumlah tersebut adalah 4 persen dari pembayaran tahap 1 untuk PT Diratama Jaya Mandiri yaitu senilai Rp436,689 miliar dari total seluruh pembayaran Rp738,9 miliar.
"Jumlah empat persen itu dari nilai yang ditagihkan ke kami," ungkap Sigit. Ia merinci, pada September 2016 ia membayarkan termin 1 untuk PT Diratama senilai Rp436,689 miliar menggunakan cek yang diterima langsung oleh pegawai PT Diratama Angga Munggaran di Bank BNI cabang Cilangkap.
"Lalu saya ingatkan soal empat persen agar disiapkan. Kami lalu koordinasi dengan pihak BNI, kapan Rp17 miliar nya bisa siap. Ternyata baru bisa siap pada hari yang kedua," tambah Sigit.
Setelah mendapatkan uang Rp17,733 miliar tersebut, uang itu lalu dibawa ke Mabes TNI AU untuk disimpan. "Kami simpan dalam tempat penyimpanan, jadi bercampur dengan uang lain. Tapi ternyata tidak muat disimpan di brankas, jadi akhirnya disimpan di Bank BRI masih di kawasan Mabes," bebernya.
Uang tersebut lalu dipecah menjadi beberapa rekening. "Dalam BAP saudara mengatakan dana Rp17,733 miliar dipecah dimaksudkan ke rekening BRI PT Vibra sebesar Rp5 miliar, PT VSAT sebesar Rp5 miliar, dan Rp7,733 miliar dimasukkan ke rekening Bank Mandiri atas nama PT Citra Trans Nasaka? Ini bagaimana?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) KPK Arief Suhermanto.
"Karena uangnya banyak jadi tidak muat untuk disimpan di BRI. Jadi kalau ditanya apakah uang Rp17 miliar itu bagian dari dako AW, saya tidak tahu karena setelah dapat kami ambil dari BNI, kami bawa ke kantor nyampur dengan yang lain karena tidak muat dalam penyimpanan akhirnya supaya tersimpan kami simpan di BRI," ungkap Sigit.
Namun, uang Rp17,73 miliar itu kemudian diminta untuk dikembalikan ke kas Mabes TNI AU berdasarkan pertemuan antara Irfan Kurnia, Kepala Pemegang Kas (PEKAS) Mabes TNI AU Wisnu Wicaksono, pegawai PT Diratama Angga Munggaran dan Kaur Yar Pekas Mabes TNI AU Joko Sulistiyanto pada 14 Mei 2017 di Sentul Selatan.
"Dalam BAP saudara mengatakan 'Pada 15 Mei 2017 saya menghubungi Angga Munggaran dan bertanya apa punya kop atas nama PT Diratama Jaya Mandiri lalu pada hari yang sama Angga memberikan tiga lembar kop, yang memberikan perintah adalah saudara Wisnu.
Pada 16 Mei 2017 saya dan Wisnu mencairkan deposito sebesar Rp8 miliar yang diambil dalam 1 koper dan 1 plastik. Kemudian saya bertemu dengan saudara Harry (Azra Muharman) pegawai Irfan Kurnia di Bank BRI dan uang dibawa dengan innova putih.
Saya lalu bertemu Wisnu Wicaksono dan memerintahkan Rizki untuk membuat surat pernyataan bahwa telah diterima pinjaman uang uang tunai Rp8 miliar dan 800 ribu dolar AS dan bersedia mengembalikan dana tersebut paling lambat 2017. Ini kenapa dananya harus dikembalikan Rp8 miliar?" papar JPU KPK Ariawan Agustiantono.
"Kami tidak tahu karena kami dari awal sudah menangani dako, untuk urusan AW-nya saya tidak tahu," imbuhnya. Sebelumnya, JPU KPK Arief Suhermanto menyebut Irfan diduga melakukan korupsi tersebut bersama sejumlah orang.
"Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp738.900.000.000 atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut,” kata Arief di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, dalam sidang sebelumnya, Rabu (12/10/2022).
Adapun sejumlah orang yang diduga turut terlibat adalah mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna yang saat pada kurun 2015-2017 selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Kemudian, Head of Region Southeast Asia Leonardo Helicopter Division Agusta Westland Products Lorenzo Pariani.
Selain itu, Direktur Lejardo, Pte Ltd Bennyanto Sutjiadji dan Heribertus Hendi Haryoko Kepala Dinas Pengadaan Angkatan Udara (Kadisadau). Benny merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) periode 20 Juni 2016 hingga 2 Februari 2017.
Kemudian, bawahan Agus, Wisnu Wicaksono yang menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) KSAU TNI AU periode 2015-Februari 2017. Selain merugikan negara, Irfan didakwa telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp183.207.870.911,13.
Ia juga didakwa memperkaya Agus Supriatna sebesar Rp17.733.600.000 atau Rp17,7 miliar. Kemudian, memperkaya korporasi yakni Agusta Westland sebesar USD29.500.000 atau Rp391.616.035.000 dan perusahaan Lejardo. Pte Ltd sebesar USD10.950.826,37 atau senilai Rp146.342.494.088,87.
Adapun jumlah kerugian negara sebesar Rp738.900.000.000 merujuk pada perhitungan yang dilakukan ahli dari Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: LHA-AF-05/DNA/08/2022 Tanggal 31 Agustus 2022.
Atas perbuatannya, Irfan didakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (tim redaksi)
#kasusdugaankorupsihelikopteraw101
#kasusdugaanhelikoptertniau
#tniau
#tipikor
#kerugiannegara
Tidak ada komentar