Breaking News

Penyebab Perselingkuhan Tersering Ternyata bukan karena Pelakor

Ilustrasi. Foto : shutterstock

WELFARE.id-Menjalani hubungan berdua, membangun rumah tangga berdua, tetapi bisa berakhir karena orang ketiga, yang saat ini disebut pelakor. Perselingkuhan dalam pernikahan memang sebuah masalah yang tak akan pernah lekang dimakan waktu. 

Berdasarkan survei Teman Bumil dan Populix terhadap 1.943 responden ibu berusia 20-35 tahun, 46 persen responden percaya bahwa adanya orang ketiga dapat mengubah sebuah pernikahan. 

Kenapa ya perselingkuhan bisa terjadi? Apakah perselingkuhan harus berakhir dengan perceraian? Berikut hasil survei selengkapnya. 

Curhat ke Lawan Jenis, Memicu Selingkuh? 

Perselingkuhan bisa sangat sulit untuk didefinisikan. Pasalnya, setiap orang menetapkan batas yang berbeda untuk urusan selingkuh. Indra Noveldy, konselor pernikahan, pendiri dari KonsultanPernikahan.com dan penulis buku Menikah untuk Bahagia, mendefinisikan perselingkuhan dengan kriteria yang sederhana saja, yaitu curhat. 

“Definisi perselingkuhan bisa berbeda pada tiap orang. Namun, bagi saya definisi perselingkuhan itu sederhana: Ketika kita membuka jalan, secara sengaja maupun tidak sengaja, untuk curhat ke orang lain. Itu sama saja sudah membuka pintu perselingkuhan," jelas Indra, dikutip Minggu (19/6/2022). 

Definisi yang ditetapkan oleh Indra bukan tanpa alasan mendasar. Menurut pemahaman dan pengalamannya, perselingkuhan dapat terjadi mulai dari hal sepele, seperti mengobrol dengan lawan jenis yang bukan pasangan resmi 
 
“Tidak ada orang yang berniat selingkuh. Semua terjadi tanpa sengaja. Awalnya bisa saja cuma sekadar cerita, bertukar pikiran, atau bertanya. Tapi lama-lama, bisa merasa nyaman satu sama lain. Makin masuk ke dalamnya, makin terjebak dan malah makin sulit untuk keluar, persis seperti kita berada di dalam pusaran air.

Maka dari itu, sedini mungkin lebih baik jauh-jauh dari hal yang mendekatkan kita dengan perselingkuhan, seperti curhat kepada lawan jenis, apa pun niatnya dan walaupun bersahabat. Sejak awal, tutuplah celah perselingkuhan sedini mungkin, bahkan enggak usah mendekati pinggirannya,” tegasnya. 

Definisi perselingkuhan berdasarkan penjelasan Indra, senada dengan hasil survei. Sebanyak 51 persen responden setuju bahwa perselingkuhan adalah melakukan percakapan intens dan intim dengan lawan jenis tanpa sepengetahuan pasangan resmi. 

Sementara, 48 persen mengategorikan perselingkuhan sebagai pertemuan diam-diam dengan lawan jenis tanpa sepengetahuan pasangan resmi dan 8 persen menganggap bahwa kagum terhadap seseorang yang bukan pasangannya adalah bentuk perselingkuhan.

Pihak Ketiga Bukan Penyebab Utama Perselingkuhan 

Setiap kali kasus perselingkuhan terjadi, akan ada pola yang terbentuk, yaitu mencari siapa orang ketiganya. Padahal menurut Indra, hal ini tidak benar. Dalam kebanyakan kasus, perselingkuhan hanyalah gejala dari masalah dalam pernikahan, bukan penyebab utama. 

“Perselingkuhan bisa terjadi karena begitu banyak aspek dan sudah ada masalah di pernikahan itu sendiri. Pihak ketiga bukan penyebab utama perselingkuhan. Justru ketika kita menunjuk pelakor atau laki-laki lain, itu seperti melimpahkan kesalahan ke pihak ketiga dan suami-istri tidak akan introspeksi ke dalam. 

Ingat, pihak ketiga bisa masuk karena ada celah. Kalaupun ada satu oknum berniat ganggu, jika rumah tangga yang diganggu solid, pasti akan terpental. Jadi, kuncinya bukan mengusir pelakor atau menghindari pelakor, tapi benahi pernikahan, perkuat fondasi di dalam,” jelas Indra.  

Memperkuat fondasi hubungan pernikahan memiliki banyak elemen, seperti memperbaiki cara berkomunikasi, menyamakan values, dan memiliki visi-misi yang sama. 

Namun terlepas dari semua itu, satu yang ditegaskan Indra adalah memenuhi kebutuhan masing-masing. Terdengar mudah, nyatanya kebutuhan yang tak terpenuhi di dalam pernikahan sering terjadi dan tidak disadari. 

“Perselingkuhan bisa terjadi di pernikahan yang terlihat harmonis. Catat, pernikahan yang beneran harmonis dan yang terlihat harmonis adalah dua hal yang bertolak belakang. 

Berapa banyak pasangan suami-istri yang sadar bahwa kebutuhan pasangannya terpenuhi? Banyak yang enggak karena semua tampak baik-baik saja, pasangannya enggak komplain, pasangannya saleh, dan lain-lain. Artinya, banyak orang yang tidak sadar bahwa pernikahannya bermasalah. Dan Itu adalah masalah besar,” katanya. 

Kenapa hal ini bisa terjadi? Jika ditelaah kembali, rutinitas menjadi alasannya. Sejatinya, rutinitas bukanlah hal yang buruk, tetapi dapat menjadi musuh. Rutinitas cenderung menciptakan kebiasaan yang sulit dilewati.

Saat itulah akan muncul rasa monoton, ketidakbahagiaan, dan ketidakpuasan. Baik suami atau istri mulai mempertanyakan siapa yang ia nikahi dan mengapa, maupun tidak menemukan kebahagiaan atau kepuasan di dalam pernikahannya. 

Hal ini pun senada dengan hasil survei bahwa 50 persen responden menyatakan rutinitas yang monoton bisa membuat pernikahan berubah dan 46 persen lainnya mengatakan bahwa kehadiran orang ketiga yang mengubah pernikahan. 

“Bener banget, rutinitas yang monoton bisa menjadi masalah dalam pernikahan. Karena terjebak peran normatif sebagai istri, ibu, suami, dan ayah, banyak orang lupa 3 perannya sebagai partner, sahabat, dan kekasih. Kalau ketiga peran ini enggak dijalani, pastinya pernikahan akan membosankan. 

Lama-lama pernikahan itu jadi normatif, rasa itu akan menguap, lama-lama akan menjadi dingin dan datar, lalu lama-lama mencari rasa dari orang lain yang bukan pasangan resminya,” imbuhnya. 

Terjadi Perselingkuhan = Bercerai? 

Perselingkuhan merusak fondasi pernikahan. Pengkhianatan ini akan menyebabkan patah hati, kehancuran, kesepian, dan kebingungan pada salah satu atau kedua pihak dalam pernikahan. 

Dari hasil survei, 9 dari 10 responden setuju bahwa perselingkuhan merupakan kesalahan fatal yang dapat menghancurkan pernikahan. Mayoritas responden pun merasa pantas jika perselingkuhan menjadi alasan perceraian.

Sementara 64 persen di antaranya merasa bahwa perceraian itu menyakitkan, tetapi perlu dilakukan karena pernikahan sudah tidak sehat. Sedangkan sebagian kecil dari mereka atau sekitar 21 persen, merasa bahwa perceraian tidak patut dilakukan karena menyakiti anak-anak. 

Menurut Indra, siapa pun berhak untuk memilih jalan berpisah jika perselingkuhan terjadi. Walau begitu, tetap ada harapan pernikahan bisa dibenahi dan bertahan dengan perjuangan, berdarah-darah dalam prosesnya, serta melalui waktu yang tidak sebentar. 

Selain itu, jika memutuskan untuk konseling, kedua belah pihak akan diajak banyak transformasi dan introspeksi diri. Itulah mengapa tidak banyak orang yang kuat menjalani prosesnya. Pasalnya, pasti akan ada pikiran, “Dia yang selingkuh kenapa saya yang introspeksi? Kan yang salah dia.” 

Lalu, berapa lama boleh berduka jika menjadi korban perselingkuhan? Begini jawaban Indra, “Minimal kasih waktu 6-12 bulan. Tapi ingat, menjadi korban perselingkuhan bukan hanya merasa berduka, tapi juga perlu disertai dengan proses penyembuhan. Jika hanya merasa berduka, seseorang hanya akan cenderung mengasihani diri. 

Dalam proses penyembuhan ini, sadarilah bahwa diri sedang berduka, marah, sakit hati, dan terluka. Jangan malah menekan, mematikan, atau menyangkal perasaan itu, tapi hadapi semuanya sampai masuk ke fase acceptance. Nah setelah masuk ke fase menerima, di situlah perjalanan penyembuhannya sudah semakin bergerak maju.” katanya. 

Indra pun menegaskan bahwa kunci untuk sembuh dari luka perselingkuhan adalah keluar dari mentalitas korban. Tak perlu menunggu pelaku untuk meminta maaf dulu atau mematok suatu ketetapan tertentu. 

“Untuk sembuh adalah tanggung jawab yang punya luka, yaitu diri sendiri. Semua orang punya dua pilihan: Mau terus sakit dan menderita atau memilih untuk sembuh? Kalau mau sembuh, cabutlah rasa sakit itu dari diri Anda atau cari bantuan pihak ketiga untuk membantu mencabutnya,” pungkasnya. (tim redaksi

#familia
#rumahtangga
#selingkuh
#survey
#suamiistri
#pelakor

Tidak ada komentar