Breaking News

Sri Lanka Krisis Ekonomi Terparah, Warga Dirikan Tenda Tuntut Presiden Mundur

Warga Sri Lanka mendirikan tenda di sekitar kantor kepresidenan. Foto : instagram @raeesulhaq

WELFARE.id-Sejak kemerdekaan pada tahun 1948, Sri Lanka berada dalam cengkraman krisis ekonomi terburuk. Negara kepulauan di Asia Selatan itu mengalami kekurangan barang-barang penting yang parah dan sering terjadi pemadaman listrik sehingga mengakibatkan berbagai kesulitan. 

Situasi yang sulit ini telah memicu kemarahan publik dan orang-orang turun ke jalan untuk melakukan protes. Mereka menuntut pemerintah agar mengundurkan diri menjelang negosiasi dana talangan IMF (Dana Moneter Internasional). 

Protes ini disebut-sebut sebagai aksi terbesar sejak krisis mencekik Sri Lanka sejak Maret lalu. Para warga beramai-ramai mengepung kantor kepresidenan di Ibu Kota Sri Lanka, Kolombo. Bahkan hingga hari ini mereka masih bertahan disana dengan mendirikan tenda. 

Mereka mengibarkan bendera nasional dan berulang kali berteriak, "Pulang, Gota!" merujuk pada Gotabaya. 

Beberapa yang lain membawa poster bertuliskan "Sudah waktunya bagi kamu mundur" dan "cukup sudah." 

"Ini adalah orang-orang tak bersalah. Kami semua berjuang untuk hidup. Pemerintah harus mundur dan mengizinkan orang yang cakap memimpin negara," kata salah satu orator di hadapan massa. 

Merespons demo yang masih terjadi, Perdana Menteri Sri Lanka sekaligus kakak Gotabaya, Mahinda Rajapaksa, meminta kesabaran warga yang turun ke jalan. Dalam pidato pertamanya sejak krisis, Mahinda mengaku butuh lebih banyak waktu untuk membebaskan Sri Lanka dari krisis. 

''Jika kami tak bisa menghentikan krisis dalam dua atau tiga hari, kami akan menyelesaikannya sesegera mungkin,'' kata dia dalam pidato yang disiarkan di televisi, seperti dikutip AFP. 

Menurut Mahinda, setiap menit warga memprotes di jalanan, maka mereka kehilangan kesempatan mengisi pundi-pundi negara. ''Harap diingat bahwa negara membutuhkan kesabaran Anda pada saat kritis ini,'' katanya. 

Selain memprotes krisis, warga juga menuntut pemecatan pemerintahan Rajapaksa. Selama dua dekade, keluarga Rajapaksa menguasai politik Sri Lanka 

Apa Penyebab Krisis? 

Inflasi di Sri Lanka berada dalam titik tertinggi yakni sebesar 17,5 persen. Saat ini, harga satu kilogram beras melonjak hingga 500 rupee Sri Lanka dari harga biasa 80 rupee. Di tengah kelangkaannya, satu paket 400g susu bubuk dilaporkan seharga lebih dari 250 rupee, dari yang biasanya sekitar 60 rupee. 

Negara dengan 22 juta penduduk itu sangat bergantung pada impor barang-barang penting, termasuk bensin, makanan dan obat-obatan. 

Seperti dikutip The Conversation, sejak memerdekakan diri dari Inggris tahun 1948, pertanian Sri Lanka didominasi oleh tanaman yang berorientasi pada ekspor seperti teh, kopi, karet dan rempah-rempah. 

Oleh sebab itu, sebagian besar produk domestik brutonya berasal dari devisa yang didapat lewat mengekspor tanaman-tanaman tersebut. Timbal baliknya, uang hasil itu dipakai lagi untuk mengimpor bahan makanan penting. 

Selama bertahun-tahun, Sri Lanka juga mulai mengekspor garmen dan mendapatkan devisa dari pariwisata dan pengiriman uang. Karena ketergantunnya pada ekspor, Sri Lanka selalu mengalami berbagai guncangan ekonomi setiap kali jumlah ekspornya menurun, bahkan menempatkan cadangan devisa di bawah tekanan. 

Atas alasan itulah Sri Lanka sering mengalami krisis neraca pembayaran. Pinjaman terakhir Sri Lanka ke IMF adalah pada tahun 2016. Negara itu menerima USD1,5 miliar selama tiga tahun. 

Kendati demikian, kesehatan ekonomi menurun tajam selama periode itu. Baik dari sisi pertumbuhan, investasi, tabungan dan pendapatan semuanya menurun, sedangkan beban utangnya meningkat. 

Situasi semakin bertambah buruk setelah guncangan ekonomi pada tahun 2019. Belum lagi pandemi COVID-19 yang melanda di awal tahun 2020. (tim redaksi) 

#srilanka
#srilankabangkrut
#kolombo
#demosrilanka
#krisisekonomisrilanka

Tidak ada komentar